Makalah Adat Bisnis Dalam Asuransi Syariah

Kali ini makalah manajmen akan membagikan sebuah makalah dengan tema Analisis Sekuritas dan Portofolio yang berujudul makalah adat bisnis dalam asuransi syariah.
Makalah Adat Bisnis Dalam Asuransi Syariah


BAB I PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Jika melihat perkembangan bisnis syariah termasuk juga lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya menyerupai Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh. Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun sekarang sedang berpikir untuk membuka unit-unit perjuangan syariah. Salah satu bisnis syariah ialah asuransi sayariah. Tentu dalam melaksanakan bisnis harulah mempunyai etika semoga bisnis yang dijalankan bisa berjalan dengan baik. Di zaman klasik bahkan juga di masa modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu menerima tempat.  Karena efek dari ekonomi kontemporer yang tidak memperdulikan etika.
Dalam asuransi syariah juga harus mempunyai etika semoga bisnis yang dijalani bisa berjalan dengan lancar.  Dalam makalah ini kami akan  membahas ihwal etika bisnis dalam asuransi syariah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaima prinsip-prinsip bisnis dalam Islam?
2.      Apa pengertian etika bisnis?
3.      Bagaimana etika bisnis dalam asuransi syariah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa/i sanggup mengetahui prinsip-prinsip bisnis dalam Islam.
2.      Mahasiswa/i sanggup mengetahui pengertian etika bisnis.
3.      Mahasiswa/i sanggup mengetahui etika bisnis dalam asuransi syariah.






BAB II
PEMBAHASAN
ETIKA BISNIS DALAM ASURANSI SYARIAH

A.    Prinsip-Prinsip Bisnis Islam
Sebelum membahas etika bisnis, terlebih dahulu kita mengetahui prinsip-prinsip ekonomi/bisnis Islam yang menjadi landasan bagi segala acara perekonomian (bisnis). Prinsip-prinsip Bisnis sanggup diuraikan sebagai berikut:[1]
1.      Prinsip Kesatuan/Tauhid (Unity)
Prinsip tauhid ialah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Dari konsep ini, maka Islam mengatakan keterpaduan, agama ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar ini pandangan ini pula maka etika bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membetuk persamaan yang sangat pentinga dalam sistem Islam yang sejenis yangtidak mengnal kekusutan dan keterputusan. Tauhid mengantarkan insan pada legalisasi akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan adikara atas semua yang diciptakannya. Oleh lantaran itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis insan hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan hingga menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.

2.      Prinsip Kebolehan (Ibahah)
Pada dasarnya Islam memberi kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan bentuk kegiatan mu’amalah sesuai perkembangan kebutuhan insan yang dinamis. Segala bentuk kegiatan muamalah ialah dibolehkan kecuali ada ketentuan lain yang memilih sebaliknya.
Berkaitan dengan prinsip ini Hamyah Ya’qub, memberi garis besar larangan dalam perdagangan Islam menjadi tiga kategori;
a.       Melingkupi barang atau zat yang terlarang untuk diperdagangkan.
b.      Melingkupi semua perjuangan atau objek dagang yang terlarang.
c.       Melimgkupi cara-cara dagang atau jual beli yang terlarang.

Penerapan prinsip kebolehan (bahah) sangat berkaitan dengan sesuatu yang menjadi objek dalam bisnis, yang terang hala dan tidak mengandung keraguan sedikit pun.

3.      Prinsip Keadilan
Keadilan merupakan prinsip dasar dan utama yang harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk kehidupan berekonomi. Islam melarang adanya transaksi yang mengandung unsur gahara yang berakibat keuntungan di satu pihak dan kesewanang-wenangan serta penindasan (dhulm) di pihak lain.
Keadilan sebagai fondasi perekonomian, dalam Al-Qur’an banyak menyebutkan kata keadilan itu dengan banyak sekali konteks. Keadilan yang ditunjukkan aturan Islam ialah keadilan yang mutlak dan tepat bukan keadilan yang relative dan parsial menyerupai yang ada dalam sistem aturan Yunani, Romawi maupun aturan insan lainnya. Keadilan merupakan nilai dasar, etika eksiomatik, dan prinsip bisnis yang bermuara paada satu tujuan yaitu menhindari kedzaliman dengan tidak memakan harta sesama dengan batil.

4.      Prinsip Kehendak Bebas
Kehendak bebas merupakan bantuan Islam yang paling orisinil. Berdasarkan pada aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis, insan mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati maupun mengingkarinya. Kehendak bebas (Free Will) yakni insan mempunyai suatu potensi dalam memilih pilihan-pilihan yang beragam, lantaran kebebasan insan tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada insan haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya insan yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.

Kehendak bebas yang dibatasi oleh keadilan. Sesungguhnya, kebebasan ekonomi yang disyari’atkan Islam bukanlah kebebasan mutlak yang terlepas dari ikatan. Kebebasan itu kebebasan yang terbatas, terkendali dan terikat dengan keadilan yang diwajibkan Allah.

5.      Prinsip Pertanggungjawaban
Kebebasan tanpa batas ialah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh insan lantaran tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, insan perlu mem-pertanggungjawabkan tindakannya. Aksioma pertanggungjawaban ini secara fundamental akan mengubah perhitungan ekonomi dan bisnis, lantaran segala sesuatunya harus mengacu pada keadilan.

6.      Prinsip Kebenaran; Kebajikan dan Kejujuran
Kebenaran ialah nilai kebenaran yang dianjurkan dan tidak bertentangan dengan pemikiran Islam. Dalam konteks bisnis, kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan sikap yang benar, yang meliputi, proses janji (transaksi), proses mencari atau memperoleh komodiatas, proses pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Termasuk kebajikan dalam bisnis ialah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan.
Dengan aksioma kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melaksanakan transaksi, kolaborasi atau perjanjian dalam bisnis. Kejujuran merupakan nilai dasar yang harus dipegang dalam kegiatan bisnis. Setiap bisnis yang didasarkan pada kejujuran akan mendapatkan kepercayaan pihak lain.

7.      Prinsip Kerelaan
Prinsip ini menjelaskan bahwa segala bentuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan sukarela, tanpa ada unsur paksaan antara pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan tersebut. Prinsip kerelaan dalam Islam merupakan dasar penerimaan dan perolehan objek transaksi yang jelas-jelas bersifat halal dan tidak bertentangan dengan pemikiran agama.
8.      Prinsip Kemanfaatan
Penerapan prinsip kemanfaatan dalam kegiatan bisnis sangat berkaitan dengan objek transaksi bisnis. Objek tersebut tidak hanya berlabel halal tetapi juga mengatakan manfaat bagi konsumen. Objek yang memenuhi kriteria halal apabila digunakan untuk hal-hal yang sanggup menjadikan kerusakan, maka hal ini pun dilarang.

9.      Prinsip Haramnya Riba
Prinsip ini merupakan implementasi dari prinsip keadilan. Adanya pelarangan riba dalam acara ekonomi lantaran terdapatnya unsur dhulm di antara para pihak yang melaksanakan kegiatan tersebut. Yang salah satunya ada pihak yang didzalimi. Prinsip pelarangan riba diterapkan lantaran menjadikan dampak berupa penganiayaan terhadap salah satu pihak oleh pihak lain. Permasalah riba tidak saja berdampak pada problem ekonomi, tetapi menyangkut moral.

B.     Pengertian Etika Bisnis Islam
1.       Etika
Etika berasal dari Bahasa Yunani Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut mempunyai banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya ialah adab kebiasaan. Dan artinya ialah adab kebiasaan dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar, Aristoteles (384-322SM) sudah digunakan untuk memperlihatkan filsafat moral.[2]
Dalam kamus Inggris, etika (ethic) mengandung empat pengertian. Pertama, etika ialah prinsip tingkah laris yang baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga, dalam kata-kata “ethics” yaitu “ethic” dengan aksesori “s” tapi dalam penggunaan mufrad atau singular, diartikan sebagai kajian ihwal hakikat umum moral. Keempat, “ethics” yaitu “ethic” dengan aksesori mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laris para anggota suatu profesi.[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan arti ilmu ihwal apa yang baik dan apa yang jelek dan ihwal hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta diartikan  nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

2.      Bisnis
Bisnis termasuk kata yang sering digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata bisnis secara tepat dan proporsional. Hughes dan Kapoor menyerupai dikutip oleh Buchari Alma menjelaskan bahwa bisnis ialah suatu kegiatan perjuangan individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.[4]
Lebih ringkas dari itu Brown dan Petrello menyebut bisnis ialah suatu forum yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana bisnis ialah forum yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain.[5] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bisnis ialah perjuangan komersial di dunia perdagangan, bidang usaha, perjuangan dagang.
Secara umum bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan  oleh insan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan (rezeki) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan impian hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien. Dan menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis mempunyai makna dasar sebagai “ the buyinh and selling of goods and services”. Adapun berdasarkan pandangan Straub dan Attner bisnis tak lain ialah suatu organisasi yang menjalankan acara produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.Adapun dalam Islam bisnis sanggup dipahami sebagai serangkaian acara bisnis dalam banyak sekali bentuk yang tidak dibatasi jumlahnya, kepemilikan hartanya (barang/ jasa) termasuk profitnya, namun di batasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya ( aturan halal dan haram ).[6]

3.      Etika Bisnis
Etika bisnis ialah cara-cara atau sikap etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru. Semua ini meliputi bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness),  sesuai dengan aturan yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar minimal ketentuan hukum, lantaran dalam kegiatan bisnis sering kali kita temukan area abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.[7]
Menurut Bertens etika bisnis ialah studi ihwal aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini sanggup dipraktikkan dalam tiga taraf. Pertama,  taraf makro, etika bisnis akan berbicara ihwal aspek-aspek bisnis secara keseluruhan, menyerupai problem keadilan. Kedua, taraf meso (madya), etika bisnis menyidik masalah-masalah etis di bidang organisasi menyerupai serikat buruh, forum konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain. Ketiga, taraf mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dalam kegiatan bisnis menyerupai tanggung jawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan konsumen.[8]
Berbicara ihwal bisnis,  maka kajian yang dibahas tak jauh mengenai kajian ekonomi. M. Abdul Mannan menjelaskan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam, bahwa ilmu ekonomi Islam ialah ilmu ihwal manusia, bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai hidup Islam.[9] Hal ini menjelaskan bahwa nilai-nilai hidup (etika) berperan penting dalam dunia bisnis.
Etika bisnis ialah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau teladan sebuah perusahaan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis ialah dunia yang sudah saatnya dirubah menjadi paradigma yang berkaitan antara etika dengan laba.

4.      Etika Bisnis Islam
Ada beberapa parameter kunci sistem etika bisnis Islam, di antaranya sebagai berikut:
1)      Berbagai tindakan dan keputusan disebut etis tergantung pada niat individu yang melakukannya.
2)      Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah.
3)      Islam memberika kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apa pun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan.
4)      Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasana sepenuhnya dari hal apa pun kecuali Allah.
5)      Keputusan yang menguntungkan kelompok meyoritas ataupun minoritas tidak secara eksklusif berarti bersifat etis dalam dirinya.
6)      Islam memakai pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sitem yang tertutup.
7)      Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara gotong royong antara Al-Qur’an dan alam semesta.
8)      Islam mendorong umat insan untuk melakukan tazkiyyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini.[10]

Sitematika etika Islam tidak terfragmentasi banyak sekali unsur namun juga tidak berdimensi tunggal. Sistem etika Islam merupakan kepingan dari pandangan hidup Islami dan karenanya bersifat lengkap. Terdapat konsistensi intenal, atau ‘adl, atau keseimbangan, dalam konsep nilai penuntun individu.

C.    Nilai Penting Etika Bisnis Islam
Munculnya wacana pemikiran etika bisnis, didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moralitas. Pemikiran etika Islam muncul ke permukaan dengan landasan bahwa Islam ialah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturan-aturan, ajaran, doktrin, dan nilai-nilai yang sanggup menghantarkan insan dalam kehidupannya menuju kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagaia landasan filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan.
Menurut Quraish Shihab, al-Qur’an lebih banyak mengatakan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai sikap ekonomi dengan tanpa membedakan kelas.[11]
Pada konteks pertama, kiprah utama etika bisnis dipusatkan pada upaya mencari cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis atau perusahaan dengan tuntutan moralitas. Kedua, etika bisnis bertugas melaksanakan perubahan kesaaran masyarakat ihwal bisnis dengan mengatakan suatu pemahaman, bahwa bisnis tidak terpisah dari etika.[12]
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah mempunyai dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan mempunyai administrasi internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” menyerupai menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan insan dan bukan mencari musuh. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah menyerupai pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kongkalikong dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menjadikan inefisiensi.
Bisnis Syariah. Bisnis itu dalam Islam merupakan kegiatan berdagang. Kegiatan Bisnis Syariah dalam Islam sangat berbeda dengan kegiatan ekonomi sekuler (kapitalis) yang beranggapan bahwa dalam setiap urusan bisnis tidak dikenal adanya etika sebagai kerangka acuan, sehingga dalam pandangan kaum kapitalis bahwa kegiatan bisnis amoral. Prinsip ini memperlihatkan bahwa setiap kegiatan Bisnis Syariah tidak ada hubungannya dengan moral apa pun, bahkan agama sekalipun. Menurut ekonomi kapitalis setiap kegiatan ekonomi didasarkan pada perolehan kesejahteraan materi sebagai tujuan utama. Dalam Bisnis Syariah manusia mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pelaku bisnis.

D.    Etika bisnis Dalam Asuransi
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan insan secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam mempunyai wawasan yang komprehensif ihwal etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, hingga kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan kekerabatan sosial.
Asuransi merupakan salah satu kepingan dari bisnis. Menurut pendapat mayoritas/jumhur ulama, asuransi bukan bisnis pertaruhan dan ketidakpastian, melainkan salah satu cara untuk mempersiapkan masa depan, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam QS 59 : 18.

Yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kau kerjakan.

Kemudian, asuransi ini juga sanggup menjadi sarana untuk mempersiapkan generasi penerus yang lebih baik, dan bukan generasi penerus yang lemah dan tidak berdaya. Sehingga, keikutsertaan kita pada asuransi pendidikan anak sebagai contoh, merupakan salah satu cara untuk menjamin keberlangsungan pendidikan generasi yang akan datang. Selanjutnya, jenis transaksi yang dikembangkan asuransi syariah pun mempunyai filosofi yang berbeda dengan asuransi konvensional.
Pada konsep konvensional, premi yang dibayarkan kepada perusahaan, menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan tersebut bebas menginvestasikan dana premi dimana saja, tanpa mempedulikan halal dan haramnya. Sementara pada janji syariah, ada dua transaksi yang dikembangkan, yaitu tabarru’ (kebajikan) dan tijarah/bisnis melalui janji mudharabah (bagi hasil). Pada janji tabarru’, para pemegang polis saling menghibahkan dananya untuk kepentingan bersama. Dana inilah yang nantinya diberikan kepada pemegang polis ketika “terjadi sesuatu” pada mereka. Filosofi yang dibangun disini ialah rasa kepedulian dan semangat tolong menolong, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 2.  
Yang Artinya: “dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[14]

Sehingga, semangat persaudaraan sebagai satu badan yang kokoh akan terlihat disini, dimana apabila satu kepingan sakit, yang lain pun akan turut merasakannya. Selanjutnya pada janji mudharabah, kekerabatan antara pemegang polis dengan perusahaan ialah kekerabatan antara investor (rabbul maal, yaitu peserta asuransi) dengan pengelola dana (mudharib, yaitu perusahaan). Perusahaan berkewajiban untuk menginvestasikan dana pemegang polis pada sektor-sektor perjuangan yang halal dan thayyib. Setiap keuntungan yang diperoleh kemudian dibagikan berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
Dengan konsep menyerupai ini, maka tidak perlu ada keraguan lagi ihwal kehalalan produk asuransi syariah. Apalagi, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 ihwal Pedoman Umum Asuransi Syariah, sebagai landasan syar’i dibolehkannya praktek asuransi syariah di tanah air.
Manfaat Pedoman Etika Bisnis dalam Asuransi syariah akan mengatakan efek jangka bagi pihak-pihak berikut : 
1.      Karyawan
·         Menyediakan pedoman tingkah laris yang diinginkan dan tidak diinginkan oleh Perusahaan Asuransi kepada Karyawan. 
·         Menciptakan lingkungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, etika, dan keterbukaan sehingga bisa meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan secara menyeluruh. 
2.      Perusahaan 
·         Mendorong kegiatan operasional Perusahaan semoga lebih efisien dan efektif, mengingat kekerabatan dengan nasabah, masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya mempunyai standar etika yang harus diperhatikan. 
·         Meningkatkan nilai perusahaan dengan mengatakan kepastian dan pemberian kepada stakeholders dalam bekerjasama dengan perusahaan. Hal ini akan menghasilkan reputasi yang baik dan pada hasilnya akan mewujudkan keberhasilan perjuangan dalam jangka panjang. 
3.      Pemegang Saham 
·         Menambah keyakinan bahwa dalam mencapai tingkat protabilitas yang diperlukan para pemegang saham, perusahaan asuransi dikelola secara hati-hati (prudent), efisien, transparan, akuntabel, dan fair dengan tetap memperhatikan kepentingan perusahaan. 
4.      Masyarakat dan pihak lain yang terkait
·         Menciptakan kekerabatan yang serasi dan saling menguntungkan dengan perusahaan, yang pada hasilnya akan membuat kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan pihak lain yang terkait.

E.     Praktik-Praktik Terlarang Dalam Bisnis Islam
1.      Riba
Riba dari segi bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan berdasarkan istilah syara’, berarti tambahnya harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa apa pun. Dalam konteks aturan Eropa riba disebut dengan istilah interest (Inggris) atau usury, rente dan woeker (Belanda).
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menjadikan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomis, moral, maupun sosial. Oleh lantaran itu, al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun mendapatkan riba.

2.      Perjudian (qimar atau maisir)
Adapun judi dalam bahasa Arab disebut al-maisir, al-qimar, rahanahu fi al-qimar, muqamarah, maqmarah (rumah judi). Termasuk dalam jenis judi ialah bisnis yang dilakukan dengan sistem pertaruhan. Perilaku judi dalam proses maupun pengembangan bisnis dihentikan secara tegas oleh al-Qur’an. Hal ini ditunjukkan pada QS. Al-Maidah (5) ayat 90:  
Yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, ialah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu semoga kau menerima keberuntungan.”

Dalam praktiknya, judi ialah perjuangan untuk memperoleh uang atau barang melalui pertaruhan. Usaha menyerupai ini termasuk dalam kategori khaba’is dan gharar serta bertentangan dengan nilai keadilan yang senantiasa ditekankan pada bisnis Islam. 

3.      Probabilitas atau resiko (gharar)
Gharar pada arti asalnya ialah al-khida’, yaitu sesuatu yang tidak diketahui niscaya benar atau tidaknya. Dari arti itu, gharar sanggup berarti sesuatu yang lahirnya menarik tetapi dalamnya belum terang diketahui dan menjadikan kebencian. Bisnis gharar dengan demikian ialah jual beli yang tidak memenuhi perjanjian yang tidak sanggup dipercaya, dalam keadaan ancaman tidak diketahui harganya, barangnya, kondisi, serta waktu memperolehnya.
Gharar (ambiguitas) dalam bermuamalah dihentikan oleh Islam, lantaran sanggup menjadikan kerusakan-kerusakan menyerupai permusuhan dan kebencian di antara para pelaku ekonomi. Ada beberapa gharar yang diperolehkan dalam transaksi Islam, di antara;
a)      Sesuatu yang tidak disebutkan dalam janji jual beli, tetapi termasuk dalam objek akad.
b)      Sesuatu yang berdasarkan adab sanggup dimaafkan atau ditolelir dalam janji baik lantaran sedikit jumlah atau lantaran sulit memisahkan dan menemukannya.


4.      Penipuan (al-gabn dan tadlis)
Al-gabn berdasarkan bahasa bermakna al-khida’ yang berarti penipuan. Dikatakan: ghabanahu ghabnan fi al-bay’ wa asy-syira’; khada’au wa ghalabahu (dia benar-benar menipunya dalam jual beli yaitu menipunya dan menekannya). Ghabana fulanan; naqashahu fit-tsaman wa ghayyarahu (dia menipu seseorang yaitu dengan mengurangi dan mengubah harganya). Ghabn ialah membeli harag dengan lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata.
Adapun penipuan (tadlis) ialah penipuan, baik pada pihak penjual maupun pembeli dengan caramenyembunyikan ketaknormalan ketika terjadi transaksi. Dalam bisnis modern sikap ghabn atau tadlis bisa terjadi dalam proses mark-up yang melampaui kewajaran atau wanprestasi.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Untuk mengetahui etika dalam bisnis prinsip-prinsip Bisnis sanggup diuraikan sebagai berikut:
1.      Prinsip Kesatuan/Tauhid (Unity)
2.      Prinsip Kebolehan (Ibahah)
3.      Prinsip Keadilan
4.      Prinsip Kehendak Bebas
5.      Prinsip Pertanggungjawaban
6.      Prinsip Kebenaran; Kebajikan dan Kejujuran
7.      Prinsip Kerelaan
8.      Prinsip Kemanfaatan
9.      Prinsip Haramnya Riba

Etika bisnis ialah cara-cara atau sikap etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru. Semua ini meliputi bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness),  sesuai dengan aturan yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat Asuransi merupakan salah satu kepingan dari bisnis.




DAFTAR PUSTAKA

Amin, A. Riawan. Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management. Jakarta: Salemba Empat. 2010.
Fadhil, Nur Ahmad, dan Akmal, Azhari.  Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Hijri Pustaka Utama. 2001.
Ismanto, Kuat. Asuransi syari’ah, Tinjauan Asas-asas Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.
Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syafri harahap,  Sofyan. Akuntasi Keuangan Islam. Jakarta: bumi aksara, 1997.




[1] Kuat Ismanto, Asuransi syari’ah, Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 154-165.
[2] Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001), hal. 25.
[3] Ibid. hal. 25-26.
[4] Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, hal. 15.
[5] ibid
[6] Syafri harahap,  Sofyan. Akuntasi Keuangan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 228.
[7] A. Riawan Amin, Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management, (Jakarta: Salemba Empat. 2010), hal. 32.
[8] Nur Ahmad Fadhil dan Azhari Akmal, hal. 53-53.
[9] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) hal. 19.
[10] Kuat Ismanto, hal. 169.
[11] Ibid, hl. 174.
[12] Ibid, hl 175.
[13] QS Al Hasyr/59: 18
[14] QS. Al Maidah/5 : 2

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel