Lingkungan Sosial dan Budaya dalam Pemasaran Internasional

Pemasaran internasional sangat dipengaruhi oleh berbagai macam lingkungan makro, diantaranya yaitu lingkungan ekonomi (sudah kita bahas sebelumnya, silahkan baca: Makalah Lingkungan Ekonomi Dalam Pemasaran Internasional), lingkungan politik dan hukum, lingkungan sosial dan budaya. Dari kelima lingkungan makro tersebut, lingkungan ekonomi merupakan lingkungan yang sangat berpengaruh langsung terhadap kinerja pemasaran internasional. Kali ini kita akan membahas tentang lingkungan sosial dan budaya dalam pemasaran internasional.

makalah Lingkungan Sosial dan Budaya dalam Pemasaran Internasional

A. Lingkungan Sosial

Perubahan paradigma sosial di dunia menyangkut beberapa isu seperti:

1. Demokratisasi

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan berasal dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Prinsip itu dilaksanakan melalui pemilihan langsung (demokrasi langsung) atau pemilihan wakil rakyat (demokrasi perwakilan) Prinsip dasar dalam sistem demokrasi adalah kesetaraan dan kebebasan. Prinsip tersebut tercermin dalam kesetaraan di depan dan peluang sama menduduki kekuasaan. Hak dan kebebasan masyarakat dilindungi oleh konstitusi.

Sejak Perang Dunia II berakhir, semakin banyak negara mengadopsi sistem ini sebagai sistem pemerintahannya. Hal ini dipicu oleh keberhasilan Amerika Serikat dan Eropa Barat membangun kembali negaranya seusai perang dengan menjamin hak sipil. Lebih lanjut seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini, kemenangan Amerika Serikat dalam perang dingin membuat semakin banyak negara Eropa Timur berpaling pada sistem demokrasi, khususnya demokrasi liberal, yang dianggap memberi lebih banyak peluang pada pengembangan kreatifitas dan potensi manusia.

Dampak perubahan kecenderungan ideologi dalam konstelasi ekonomi dunia adalah kecenderungan meningkatnya gairah liberalisasi ekonomi. Prinsip kesetaraan dan kebebasan mendorong kesetaraan dan kebasan dalam melakukan perdagangan. Di sisi lain muncul juga aspirasi untuk memperjuangkan hak sipil (suku minoritas, perempuan, konsumen) yang berdampak pada prilaku konsumen. 

2. Hak Asasi Manusia

Anak kandung demokrasi adalah perjuangan hak-hak sipil. Salah satu hak paling mendasar adalah hak asasi manusia. Gagasan tentang hak asasi manusia dideklarasikan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dalam United Nations General Assembly pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris. 

Pada hakikatnya hak asasi manusia adalah pengakuan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan derajat dan hak yang setara. Beberapa hak yang dianggap hak dasar adalah hak hidup, kebebasan, keamanan, bebas dari perbudakan, kejahatan, kekerasan, diskriminasi, setara di depan hukum, kemerdekaan untuk berkumpul, menyatakan pendapat, memilih agama, sikap politik, kewarganegaraan, menguasai harta pribadi, hak mendapatkan jaminan sosial, bekerja, dan pendidikan.

Hampir semua negara di dunia sudah meratifikasi kesepakatan tersebut. Gagasan itu diadopsi, dicantumkan dalam Undang-Undang dan dilaksanakan di negara-negara demokratis. Saat ini Persatuan Bangsa-Bangsa memiliki badan khusus yang menangani masalah pelanggaran HAM yaitu United Nation Human Right Council. Pelaku pelanggaran HAM dapat diseret ke Pengadilan Internasional. 

3. Gerakan Anti Rasialis

Sebelum tahun 1960an, di berbagai belahan dunia berkembang dan berjalan diskriminasi terhadap ras tertentu. Salah satu simbol kebijakan diskriminasi yang paling kuat adalah Politik Apartheid di Afrika Selatan. Di negara itu, ada peraturan yang berbeda untuk penduduk kulit putih dan kulit hitam. Tindakan politik rasialis yang brutal diterapkan oleh rezim Nazi di Jerman. Mereka membunuh bangsa Yahudi yang dianggap akan mengotori kemurnian ras Arya. Meskipun tidak secara langsung mendukung namun banyak juga bangsa di dunia yang membenarkan sikap kedua rejim politik tersebut.

Selama beberapa dekade, penduduk dunia kulit putih menganggap dirinya sebagai ras paling unggul. Maka sikap rasis terhadap ras Mongoloid, Asia, dan yahudi dianggap sebagai sikap yang bisa diterima. Oleh karena itu pergaulan antar  bangsa di dunia penuh dengan prasangka dan kecurigaan. Gambaran rasisme dengan mudah ditemukan di berbagai media, termasuk iklan.

Berkembangnya paham demokrasi meningkatkan kesadaran manusia kesetaraan manusia. Oleh karena itu, prilaku rasis jadi tidak lagi dapat diterima oleh dunia. Runtuhnya politik Apartheid menjadi momentum besar perubahan itu. Saat ini semua ras di dunia berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Rasa menghargai dan menghormati ras menjadi aspek penting dalam pemasaran internasional. Hal ini tercermin dalam negosiasi perdagangan, komunikasi bisnis dan komunikasi pemasaran yang mengabaikan faktor ras.

4. Gerakan Perempuan (Kesetaraan Gender)

Feminisme mengacu pada gerakan yang bertujuan meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik, budaya, dan ekonomi. Gerakan ini muncul pertama pada awal abad 20 terutama di Eropa Barat. Tujuannya untuk memperoleh hak pilih perempuan. Gelombang kedua pada tahun 1960-1980an yang fokus pada kesetaraan sosial, budaya dan ekonomi. Di Indonesia, feminisme relatif baru terjadi pada dua dekade terakhir.

Gerakan feminis mempengaruhi cara pandang dan berbagai kebijakan menyangkut perempuan diantaranya: hak pilih dalam Pemilu, akses pendidikan, hak reproduksi, perlindungan perempuan terhadap kekerasan rumah tangga dan seksual. 

Di bidang ekonomi, gerakan ini mengubah komposisi pekerja. Lebih banyak perempuan bekerja. Pada saat yang sama mereka mendapatkan hak khusus seperti cuti haid dan hamil. Selain itu semakin banyak perempuan tidak terikat sepenuhnya pada persoalan rumah tangga saja. Lelaki didorong untuk mengambil peran dalam pekerjaan domestik dan pengasuhan anak.

Kecenderungan ini tentu saja sangat memengaruhi pemasaran internasional. Pekerja perempuan saat ini dapat diterima di perusahan internasional dan multinasional yang menuntut kerja keras dan keahlian tinggi. Selain itu, prilaku konsumen juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya perempuan selalu diidentikan sebagai konsumen pemengaruh yang utama, maka di beberapa produk keputusan pembelian justru berada di tangan pria. Produk konsumsi rumah tangga juga menjadi perhatian pria bukan saja ibu rumah tangga. Pesan komunikasi pemasaran juga tak lagi bisa mengeksploitasi wanita sebagai daya tarik utama, karena di banyak negara soal pornografi diatur dengan ketat.

5. Hak Konsumen

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, demokrasi membuat penduduk dunia semakin menghargai hak-hak sipil, salah satunya adalah hak konsumen. Setidaknya ada 5 hak konsumen yang diakui secara luas yaitu: (Assael, 2004:583) 
  • Hak keamanan (the right to safety): konsumen harus dilindungi terhadap pemasaran barang yang berbahaya bagi kesehatan atau kehidupan
  • Hak informasi (the right to information): konsumen harus dilindungi dari penipuan, penipu atau informasi, iklan, label, atau praktek lain yang menyesatkan. Ia harus dapat memilih informasi.
  • Hak untuk memilih (the right to choose): konsumen sedapat mungkin memiliki akses ke berbagai produk dan layanan dengan harga yang kompetitif: dan di industri-industri dimana persaingan yang tidak bekerja dan Peraturan Pemerintah digantikan, sebuah jaminan kualitas dan pelayanan yang memuaskan dengan harga yang wajar.
  • Hak untuk didengar (the right to heard): jaminan bahwa kepentingan konsumen menjadi bahan pertimbangan yang penting dalam perumusan kebijakan pemerintah, dan mendapat perlakuan adil dan cepat dalam pengadilan administratif.
  • Hak privasi (the right to privacy): jaminan informasi pribadi konsumen tidak diperjualbelikan atau diberitahukan kepada pihak lain.


Implementasi dari perlindungan hak konsumen itu tertuang dalam hukum konsumen. Hukum ini mengatur hubungan hukum privat antara konsumen individu dan bisnis yang menjual barang dan jasa Perlindungan konsumen. Mencakup berbagai topik, termasuk tetapi tidak harus terbatas pada kewajiban produsen, hak privasi, praktek bisnis yang tidak adil, penipuan, kekeliruan, interaksi dengan konsumen/bisnis. 

Di Indonesia pemerintah sudah menetapkan Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam UU tersebut merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hak konsumen yang termuat dalam Pasal 5 UU tersebut adalah:

  • Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  • Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.


Badan pemerintah Indonesia yang bertugas melindungi hak konsumen adalah Direktorat Perlindungan Konsumen. Namun kenyataannya direktorat ini tidak berfungsi dengan baik. Mereka tidak aktif melakukan pendidikan konsumen dan pembelaan konsumen yang bermasalah.

Di beberapa negara juga sudah berkembang pendidikan konsumen. Pendidikan ini adalah proses pengajaran, pelatihan dan pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan konsumen. Pendidikan konsumen berkaitan dengan penyampaian pengetahuan tentang hak konsumen, hukum konsumen, standar kualitas produk, aspek kesehatan tentang berbagai produk, ketersediaan jasa publik dan privat, ganti rugi konsumen, ketrampilan membuat pilihan tepat dalam berbelanja.

Setiap konsumen berhak memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai pembelian, penggunaan dan efek samping produk. Ia berhak mendapat pendidikan tentang berbagai produk, pasar dan hal lain yang dapat melindunginya dari kemungkinan eksploitas. Beberapa hal yang dibahas dalam pendidikan konsumen:
  • Kesehatan, Nutrisi, penyakit yang bertalian dengan makanan dan makananpemalsuan,
  • Produk berbahaya seperti bahaya karena penyimpanan dan konsumsi produk tertentu,
  • Pemalsuan label produk label - pada kemasan produk mengenai status komposisi mereka, berat, dampak ekologis, kemurnian standar, warna, engawet yang digunakan, tanggal pembuatan dan kadaluwarsa, alamat produsen / pabrikan, hal-hal yang berkaitan dengan pendaftaran, merek dagang, merek standar dll
  • Perlindungan Hukum - Hukum ditetapkan pemerintah untuk melindungi hak-hak konsumen dan mencari ganti rugi, bagaimana dan siapa yang harus didekati untuk ganti rugi dll
  • Informasi mengenai berat, ukuran, kemasan, kualitas harga dan ketersediaan kebutuhan dasar dll
  • Dampak lingkungan: berbagai jenis polusi, konsumsi berkelanjutan dll


Pendidikan Konsumen melibatkan tiga pihak: Bisnis, Konsumen dan Pemerintah. Pendidikan konsumen bermanfaat tidak saja untuk konsumen tapi juga dunia bisnis dan pemerintah:
  • Umpan balik untuk bisnis
  • Produsen dan penjual tidak akan mengambil keuntungan dari konsumen dengan cara-cara ilegal
  • Mendorong tanggapan pemerintah melidungi hak-hak sipil
  • Menciptakan interaksi antara konsumen – produser



6. Ekologi (Global Warming) – Konsumen Hijau

Satu dekade terakhir, dunia dikejutkan dengan kenyataan pahit mengenai kualitas lingkungan hidup yang semakin memburuk. Kelompok pecinta alam berhasil menunjukan fakta yang menyadarkan warga dunia bahwa prilaku konsumsi kita selama ini telah menimbulkan pemanasan global (global warming). Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya suhu di atmosfer bumi akibat konsentrasi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia membakar bahan bakar fosil dan pengundulan hutan. Gas itu menghalangi pelepasan panas bumi ke angkasa akibatnya panas tertahan di atmosfer sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi. 

Akibat pemanasan global, gunung-gunung es di Kutub Utara dan Selatan meleleh sehingga meningkatkan permukaan air laut. Orang-orang yang tinggal di tepi pantai terancam keselamatannya. Keseimbangan iklim terganggu, sehingga musim jadi tidak beraturan dan perubahan suhu yang ekstrim. Hal ini menyebabkan timbul banyak penyakit dan sangat menganggu produksi pertanian dunia. Akibatnya dunia mengalami rawan pangan.

Masalah ini mendorong sebagian orang untuk beralih menjadi konsumen hijau (green consumer). Beberapa ciri segmen ini adalah:
  • Berkomitmen terhadap gaya hidup ramah lingkungan
  • Kritis terhadap akibat tindakan mereka terhadap lingkungan
  • Mencari perusahaan yang melakukan tindakan ramah lingkungan
  • Menyatakan prilaku mereka secara terbuka
  • Cenderung tidak begitu saja percaya pada klaim ramah lingkungan yang dikeluarkan perusahaan.
  • Tidak semuanya mengetahui masalah lingkungan tapi mempelajarinya. 
Produk hijau (green product) yang berhasil menyasar segmen ini diantaranya alat penghemat energi, biofuel, moda transportasi ramah lingkungan, makanan dan kosmetik organik.

Kecederungan ini membuat pemasar harus mempu merespon keinginan dan kebutuhan konsumen hijau. Hal terpenting alih-alih melakukan iklan dengan gencar, pemasar sebaiknya menyediakan informasi produk yang memadai. Karena sebagian besar konsumen hijau sangat ingin mengetahui bahan mentah produk, efek pengadaan bahan mentah terhadap lingkungan, dan pengelolaan limbah perusahaan. Lebih dari itu, mereka tidak enggan terlibat pada tindakan demonstrasi dan boikot melawan perusahaan yang dianggap merusak lingkungan. Meski sangat memperhatikan ekologi, konsumen hijau tetap saja memperhatikan nilai-nilai produk dasar seperti penetapan harga (mereka biasanya bersedia membayar lebih mahal untuk produk hijau), kualitas, kenyamanan, ketersediaan. Jumlah konsumen hijau diperkirakan akan terus bertambah tidak saja di negara maju seperti Amerika dan Eropa tapi juga merambah ke Asia dan Australia.

B. Lingkungan Budaya

Ada ratusan definisi kebudayaan yang dicetuskan para ahli. Tapi pada dasarnya kebudyaan terdiri dari: (Tjandra, 2004)
1. Suatu proses umum perkembangan intelektual, spritual dan estetik
2. Pandangan hidup masyarakat/kelompok dalam suatu periode tertentu
3. Karya dan praktik intelektual, terutama aktivitas artistik

Secara sederhana, kebudayaan adalah seluruh hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Secara umum, para ahli kebudayaan menerima 7 unsur kebudayaan yaitu: teknologi, bahasa, kepercayaan/religi, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ekonomi.

Kebudayaan yang berpadu dengan kegiatan pemasaran bisnis menciptakan budaya massa yang diartikan sebagai budaya populer yang diproduksi melalui caracara industrial dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan. Budaya massa tercipta karena proses industrialisasi, urbanisasi dan peran media massa mempopulerkannya. 

Sifatnya terstandarisasi, repetitif dan dangkal. Contoh budaya massa adalah musik dangdut, musik pop, musik campur sari. Musik merupakan bagian dari budaya manusia selama berabad-abad. Beberapa aliran musik menciptakan musik baru yang sangat digemari oleh masyarakat umum. Karena proses industrialisasi ia disebarkan dengan cepat melalui proses yang mekanis. Satu kali rekaman bisa digandakan jutaan keping cd kemudian disebarkan ke berbagai tempat pada waktu bersamaan. Oleh karena itu musik yang sama diperdengarkan berulang kali di berbagai tempat.

Bandingkan dengan musik gamelan hanya dimainkan di acara dan waktu tertentu. Agar bisa disukai oleh banyak orang, musik pop harus mudah dimengerti dan mudah diperdengarkan. Oleh karena itu ia bersifat dangkal.

1. Dimensi Kebudayaan

Untuk memahami budaya lintas negara, pemasar banyak menggunakan konsepsi budaya yang diajukan oleh antropolog organisasional Greert Hofstede, budaya bisa diartikan sebagai “collective programming of the mind that distinguishes the members of one category of people from those of another”. Budaya atau kebudayaan memiliki beberapa karakteristik pokok, diantaranya: 
  • Preskriptif, yakni mengatur tipe-tipe perilaku tertentu yang dianggap dapat diterima dalam masyarakat tertentu
  • Digunakan dan dikembangkan bersama dalam masyarakat
  • Bukan merupakan bawaan sejak lahir, tetapi dipelajari (learned) melalui proses sosialisasi (enculturation) dan akulturasi;
  • Kumulatif dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
  • Dinamis (berkembang dan berubah seiring perjalanan waktu)
  • Menentukan batas-batas antar kelompok yang berlainan.


Budaya bertindak sebagai cara hidup (way of living) dalam konteks institusi sosial, seperti keluarga, lembaga pendidikan, kelompok religius, pemerintah, dan institusi bisnis. Budaya meliputi perilaku yang tampak maupun tidak tampak yang membentuk perilaku manusia.dan diwariskan secara turun-temurun. 

Budaya meliputi respon-respon yang dipelajari terhadap segala sesuatu yang terjadi. Semakin dini suatu respon dipelajari, maka semakin sulit untuk dirubah. Selera dan preferensi terhadap makanan dan minuman misalnya, mencerminkan respon yang dipelajari yang sangat bervariasi dari satu budaya ke satu budaya yang lain dan berdampak besar kepada perilaku konsumen.

Salah satu riset yang bias dikatakan paling komprehensif dalam rangka mengukur perbedaan budaya berskala global adalah studi yang dilakukan oleh Hofstede (1980). Ia melakukan survey global terhadap para karyawan IBM di berbagai penjuru duniadan mengidentifikasi empat dimensi budaya: Individualism/Collectivism, Power Distance, Masculine/Feminine, dan Uncertainty Avoidance. Dalam studi berikutnya yang ia lakukan bersama mitranya Bond(1988), mereka menambahkan dimensi kelima, yakni Long-term/Short-termOrientation. 

Dimensi budaya yang pertama, Individualism versus Collectivism, merefleksikan sejauh mana individu dalam suatu budaya menempatkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan keluarga dekat dan kelompok social lainnya. 

Dalam masyarakat kolektif , identitas dan nilai individu lebih berakar pada sistem social dibandingkan prestasi atau pencapaian individual. Kondisi sebaliknya dijumpai pada masyarakat yang cenderung individualis.

Dimensi kedua, high versus low power distance, mencerminkan sejauh mana kelompok masyarakat paling lemah (less power) dalam suatu kultur menerima ketidakadilan dan ketimpangan dalam hal distribusi kekuasaan sebagai situasi normal. 

Meskipun ketidakadilan adalah situasi yang lumrah dijumpai di semua negara, namun tingkat penerimaan masyarakat terhadap realitas tersebut berbeda-beda antar budaya. masyarakat yang memiliki high power distance cenderung kurang egalitarian, sementara negara-negara demokratis umumnya menunjukkan low power distance. Dimensi ketiga, masculine versus feminine, mengacu pada sejauh mana suatu budaya didominasi assertive males. dibandingkan dengan nurturing females. Negara yang bercirikan kultur maskulin cenderung menekankan kesuksesan material dan assertivitas, sedangkan kultur feminine lebih mengutamakan kualitas hidup dan perhatian terhadap kaum lemah. Menurut hasil riset Hofstede, Swedia adalah negara yang paling bercirikan feminine, sementara Jepang adalah negara yang paling maskulin di dunia. 

Dimensi keempat, uncertainty avoidance, merefleksikan sejauh mana masyarakat dalam suatu budaya merasa terancam dengan situasi yang penuh ketidakpastian, tidak bias diprediksi dan tidak jelas. Budaya yang memiliki uncertainty avoidance kuat cenderung lebih aktif, agresif, emosional dan tidak toleran. Sebaliknya, budaya yang memiliki uncertainty avoidance lemah cenderung kontemplatif, kurang agresif , tidak emosional, dan toleran.

Meskipun riset awal Hostede memberikan wawasan penting dalam memahami perbedaan antar budaya, ada sejumlah kelemahan dasar yang perlu diperhatikan. Pertama, sampelnya terdiri atas para eksekutif IBMdi setiap negara. Seperti banyak diketahui, IBM merupakan suatu perusahaan yang memiliki budaya perusahaan (corporate culture) sangat kuat, sehingga mungkin saja budaya organisasi tersebut justru mempengaruhi perbedaan-perbedaan antar budaya yang diidentifikasi dalam riset Hostede. Kedua, survei Hofstede dilakukan di akhir 1970an. Perubahan besar sangat mungkin telah terjadi pada masing-masing negara. Selain itu, era globalisasi dan liberalisasi pasti berdampak pada perubahan budaya setiap negara. 

Ketiga, dimensi-dimensi budaya versi Hofstede banyak dikritik dan dianggap terlalu bias ke kultur Barat. Sehingga mungkin saja tidak terlalu relevan untuk negara-negara Asia tertentu. Dalam budaya negara-negara Asia, kolektivisme tidak selalu mengabaikan individualisme. 

Keempat, selain itu, uncertainty avoidance tidak banyak bermakna di kultur negara Asia. Oleh sebab itu muncul isu tentang kemungkinan adanya faktor lain selain empat dimensi kultur Hofstede tersebut. Hofstede sendiri kelihatannya tanggap terhadap kelemahan ini. Dalam riset berikutnya, Hofstede berkolaborasi dengan Bond, staf di Chinese University of Hong Kong, mengidentifikasi dimensi kelima yang semula diberi nama Confucian dynamism, namun kemudian diubah menjadi long-term versus short term orientation.

Dimensi kelima ini mengacu pada sejauh mana suatu budaya memiliki perspektif pragmatis jangka panjang atau orientasi jangka pendek historis. Budaya yang berorientasi jangka panjang cenderung memiliki nilai-nilai kehati-hatian, keuletan, ketekunan, lebih mengutamakan upaya membangun pangsa pasar ketimbang mengejar laba jangka pendek, respek pada tradisi, memenuhi tanggung jawab sosial, dan menjaga kehormatan (save face) orang lain dalam berbisnis. Mudah diduga bahwa negara-negara RRC, Hong Kong, Taiwan, Jepang dan Korea Selatan memiliki orientasi jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara di kawasan Afrika Barat
cenderung berorientasi jangka pendek. 

Hofstede juga mengukur kecenderungan (skor) dimensi budaya di Indonesia berikut nilainya: 
  • PDI = 78, Asia = 71
  • UAI = 48, Asia = 58, Dunia = 64
  • IDV = 14, Asia = 23, Dunia = 43
  • MAS = 50, Asia = 59
  • LTO = tinggi

ukuran dimensi budaya di Indonesia


Berdasarkan pengukuran Hofstede diketahui bahwa kombinasi nilai tinggi UAI dan PDI menunjukan: masyarakat yang mementingkan hukum, aturan dan kontrol untuk menekan ketidakpastian. Tapi ketidaksetaraan kuasa dan kekayaan terus dipertahankan sehingga tak memungkinkan mobilitas vertikal. Pemimpin secara virtual memiliki kuasa dan otoritas, hukum & aturan diciptakan oleh pemilik kuasa untuk menjalankan kepemimpinan dan kontrolnya. Biasanya para pemimpin tidak mendapatkan kekuasaan dari perubahan diplomatik atau demokratis.

2. Indeks Suap dan Korupsi

Isu budaya internasional juga berkaitan dengan tingkat suap dan korupsi di sebuah negara. Para investor lebih menyukai berinvestasi di negara dengan tingkat suap dan korupsi yang rendah. Karena hal ini membuat perhitungan investasi lebih mudah (pasti) ditentukan dan operasi perusahaan menjadi efisien. Di negara dengan tingkat suap dan korupsi tinggi akan menimbulkan high cost economy (ekonomi biaya tinggi). Investor harus mengeluarkan dana yang tidak jelas jumlahnya dan tujuannya untuk mengurus birokrasi.

Untuk mengukur tingkat suap dan korupsi, tiap tahun Transparancy Internasional mengeluarkan indeks suap dan korupsi (Bribery & Corruption Index) negara diseluruh dunia. Indeks tersebut didasarkan pada survey pada lebih dari 11,000 pebisnis di 125 negara yang hadir dalam World Economic Forum’s . Nilai 10 menunjukan tidak ada korupsi. Nilai 0 menunjukan korupsi tak terkendali. Tidak ada satu negara pun yang pernah mencapai indeks 10.

Korupsi memiliki korelasi yang sangat kuat dengan konflik dan instabilitas. Asumsi di atas terbukti bila melihat daftar negara-negara yang memiliki indeks terendah antara lain Somalia (1,1), Afghanistan (1,3), Myanmar, Sudan dan Irak (1,5). Di sisi lain, negara-negara dengan indeks yang tertinggi antara lain Selandia Baru (9,4), Denmark (9,3), Singapura dan Swedia sama indeksnya (9,2), dan Swiss (9,0) adalah negara-negara dengan tingkat stabilitas ekonomi dan politik yang tinggi.

Meski tidak serendah Somalia, Afghanistan, Myanmar, Sudan dan Irak, prestasi Indonesia di bidang ini tidak membanggakan. Indonesia Corruption Perception Index (Indonesia CPI) melakukan survei tiap tahun dengan melibatkan 2371 responden di 50 kota Indonesia. Respondennya terdiri dari pengusaha, tokoh masyarakat sipil dan pengawai negeri. Skor Indonesia dalam CPI 2009 adalah 2,8. 

Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik harus dipertanyakan. Ini sangat memprihatinkan apalagi bila skor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3).

Jika dibandingkan dengan CPI 2008, Indonesia mendapat skor 2,6. Kenaikan sebesar 0,2 tersebut tidak perlu dilihat sebagai suatu prestasi yang harus dibanggabanggakan karena: skor 2,8 masih menempatkan Indonesia sebagai negara yang dipersepsikan korup. Perubahan skor 0,2 tidak terlalu signifikan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel