Lingkungan Politik dalam Pemasaran Internasional

Pemerintah merupakan bagian integral dari setiap aktivitas bisnis domestik dan luar negeri. Karenanya, setiap perusahan global dipengaruhi oleh lingkungan politik negara asal dan negara tujuan pemasaranya. Lingkungan politik yang ideal bagi setiap perusahan global adalah pemerintah yang stabil dan bersahabat. 

Lingkungan Politik dalam Pemasaran Internasional


Sayangnya, kenyatan yang dijumpai tidak selalu demikian. Perubahan politik bisa saja terjadi dikarenakan sejumlah peristiwa: (1) terjadi perubahan radikal dalam pemerintah, di mana partai politik yang berkuasa memiliki filosofi yang berbeda dengan pendahulunya; (2) pemerintah merespon tekanan-tekanan dari kaum nasionalis dan self-interest groups; (3) melemahnya kondisi ekonomi mendorong pemerintah untuk menarik kembali komitmen dagangnya; (4) meningkatnya bias terhadap investasi asing. Oleh sebab itu, setiap perusahan global perlu menilai dan mengantisipasi setiap resiko politik yang bisa mempengaruhi kelangsungan bisnisnya.

Resiko politik merupakan fungsi dari (1) probabilitas bahwa kejadian politis tertentu berdampak pada perusahan tertentu; dan (2) besaran (magnitude) dampak kejadian tersebut. Secara garis besar, resiko politik dapat diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu: (Chandra, 2004).

1. Resiko ketidakstabilan umum (general instability risk) 

Yaitu resiko yang berkaitan dengan tidak pastian terhadap kelangsungan hidup (masa depan) dari sistem politik negara tujuan. Bentu-bentuknya meliputi revolusi dan agresi internal.

2. Resiko ekspropriasi (expropriation risk)

Yaitu resiko yang berkaitan dengan kemungkinan bahwa pemerintah Negara tujuan akan mengambil tindakantindakan tertentu (misalnya pembatalan kontrak, eksplorasi, konfiskasi, nasionalisasi, maupun domestikasi) untuk membatasi kepemilikan asing dan mengendalikan cabang perusahan asing negara tujuan.

• Ekspropriasi

Yaitu pengambilan kekayan atau investasi asing oleh pemerintah local dengan disertai pemberian kompensasi atau ganti rugi tertentu yang didasrkan pada nilai pasar (fair market value) dalam mata uang yang konvertibel (hard currency. Namun, dalam banyak kasus pengambilalihan dilakukan atas dasar paksaan, bukan bukan atas dasar kehendak perusahan asing yang bersangkutan. Pola ekspropriasi dapat dibedakan atas dar industri, daerah geografis, tipe kepeemilikan, teknologi, tingkat integrasi vertikal, besarnya aset, dan situasi ekonomi politik.


• Konfiskasi

Yaitu pengambilalihan kekayaan/investasi asing oleh pemerintah lokal tanpa disertai pemberian kompensasi (ganti rugi). Contohnya, konfiskasi yang dilakukan pemerintah RRC terhadap seluruh kekayan perusah Amerika saat komunis mulai berkuasa di RRC pada tahun 1949. Contoh lainya adalah konfikasi yang dilakukan pemerintahan baru Iran terhadap semua investasi Amerika sewaktu Shah Iran terguling 

• Nasionalisasi

pengambilan alih industri tertentu atau keseluruhan perusahan asing secara paksa oleh pemerintah lokal. Contohnya nasionalisasi industry minyak asing oleh pemerintah Indonesia (menjadi Pertamina).

• Domestifikasi, (creeping expropriation)

Yaitu pengambilan alih perusahan asing oleh pemerintah lokal secara pertahap atau hanya sebagian saja.

Domestifikasi umumnya dilakukan dengan berbagai cara: (1) transfer kepemilikan secara bertahap kepada pemerintah loka; (2) promosi sejumlah personil lokal kejenjang manajemen lebih tinggi; (3) kekuasan dan wewenang dalam pengambilan keputusan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah lokal; (4) lebih banyak menghasikan produk secara lokal (menggunakan local content) dari pada mengimpornya untuk dirakit; dan (5) regulasi ekspor spesifik dirancang untuk mendikte partisipasi dalam pasar dunia. Tujuan utama domestifikasi adalah memaksa investor asing untuk berbagi kepemelikan dan manajemen dengan pemerintah, investor, atau staf lokal.

3. Resiko operasi (operation risk)

Yaitu resiko yang muncul karena adanya ketidak pastian bahwa pemerintah Negara tujuan akan memaksa atau menghambat operasi bisnis perusahan asing adalam segala aspek, seperti produksi, keuangan, dan pemasaran. Bentu-bentuk resiko operasi meliputi: 

• Pembatasan impor (import restrication), yaitu pembatasan selektif terhadap impor bahan mentah, mesin, dan komponen tertentu dengan tujuan melindungi dan mengembangkan industry lokal.

• Aturan kandungan lokal (local content regulatioan), yaitu ketentuan mengenai prasyarat minimum kandungan lokal yang harus dipenuhi oleh setiap produk yang dijual di suatu Negara. Aturan ini terutama berlaku untuk perusahn asing yang merakit produk dari komponen impor.

• Pengendalian pasar (market control), yaitu usaha pemerintah lokal untuk menentukan kendali guna mencegah perusahan asing untuk masuk dalam pasar tertentu. Sebagai contoh, Jepang pernah melarang perusahan-perusahan asing menjuala peralatan komunikasi canggih kepada pemerintahnya.

• Persyartan ekspor (export requirement), yaitu aturan-aturan menyangkut prosedur dan ketentuan yang berkaitan dengan ekspor produk. 

• Pengendalian pajak (tax control), yaitu penetapan pajak yang besar dan tidak konvensional terhadap perusahan-perusahan asing (terutama perusahan sukses).

• Pengendalian harga (price control), yaitu mengendalikan harga produk-produk esensial (seperti obat-obatan, makanan, bensin, gula, dan mobil) selama periode inflasi.

• Pembatasan tenaga kerja (labour restriction), yaitu pemberlakuan ketentuan/peraturan yang melindungi hak-hak karyawan lokal, misalnya pelarangan PHK, pembagian laba, serta fasilitas-fasilitas khusus lainya yang harus diberikan kepada karyawan.

4. Resiko keuangan (financial risk)

Yaitu kemungkinan pemerintah Negara tujuan membatasi atau menghambat kemampuan cabang perusahan asing untuk mentransfer pembayaran, modal, atau laba keperusahan induknya. 
Bentuk utama resiko keuangan adalah exchange control, yaitu pembatasan terhadap pembayaran atau pengiriman uang dari negara tujuan pemasaran (host country) yang mengunakan hard currency. Pengendalian ini terutama dilakukan Negara-negara berkembang yang mengalami kesuliatan dalam neraca perdaganganya.

Bagan Tingkatan Resiko Politik

Bagan Tingkatan Resiko Politik

Analisis risiko politik berkaitan dengan antisipasi ketidakstabilan politik (political instability). Ketidakstabilan politik merupakan propabilitas terjadinya/peristiwa politik yang sifatnya tak menentu (irregular). Biasanya ketidakstabilan politik dianalisis atas dasar 4 asumsi pokok: (1) kejadian politik masa lalu bisa digunakan untuk memprediksi kejadian politik masa mendatang; (2) deprivasi ekonomi bisa mengindikasi ketidak stabilan politik; (3) kekuasan (power) mempengaruhi hasil politik (political autcomes); dan (4) perubahan terjadi dalam masa-masa transisi.

Analisi resiko politik meliputi tiga tahap utama:

1. Tahap pertama:
  • Menentukan isu-isu kritis yang relevan dengan perusahaan.
  • Menilai derajat kepentingan relative isu-isu tersebut.

2. Tahap kedua:
  • Menentukan kejadian-kejadian politik yang relevan.
  • Menentukan probabilitas terjadinya kejadia-kejadian tersebut.
  • Menentukan hubungan kausal (sebab-akibat) dari berbagai peristiwa atau kejadian tersebut.
  • Menilai kemampuan dan kesediaan pemerintah untuk merespon berbagai peristiwa tersebut.

3. Tahap ketiga:
  • Menentukan dampak awal dari skenario-skenario yang mungkin terjadi.
  • Menentukan respon-respon yang mungkin atas dampak awal tersebut.

Dalam rangka menekan atau meminumkan risiko politik, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan oleh perusahaan-perusahaan global (Budiarto & Tjiptono, 1997), diantaranya:

1. Merangsang pertumbuhan ekonomi lokal (host country) 

Cara ini ditempuh dengan jalan menyesuaikan atau menyelaraskan aktivitas bisnis perusahaan dengan kepentingan ekonomi host country, misalkan memproduksi produk yang memperoleh prioritas utama di Negara tujuan pemasaran (contohnya, produk-produk teknologi informasi di Malaysia).

Perusahaan global dapat pula menggunakan sumber pasokan bahan baku lokal, menggunakan sub-kontraktor lokal, meningkatkan kandungan lokal ebagai komponen produk yang dihasilkan, melakukan investasi fasilitas produksi di host country, dan berusaha membina perusahaan lokal agar menjadi export-oriented company.

2. Mempekerjakan tenaga kerja lokal 

Permasalahan ketenagakerjaan dan pengangguran sangat sensitif di berbagai negara, terutama negara berkembang. Oleh karena itu, perusahaan global dapat memperoleh kedudukan politis yang baik bila mampu menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah yang cukup besar. Tenaga kerja lokal tidak hanya dipekerjakan sebagai buruh atau tenaga kerja operasional, tetapi juga dipertimbangkan untuk diberi jabatan manajerial. Dengan demikian, strategi otomatis penuh tidak cocok diterpkan di Negara berkembang, namun lebih baik adalah semi otomatisasi.


3. Membagi kepemilikan 

Kepemilikan penuh atas perusahaan yang berada di negara lain seringkali menimbulakan masalah. Oleh karena itu, sebaiknya diupayakan untuk membagi kepemilikan dengan cara mengubah bentuk perusahaan dari perusahaan privat menjadi perusahaan public atau dengan cara mengubah dari erusahaan asing menjadi perusahaan lokal. Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan joint venture (baik perusahaan lokal maupun dengan perusahaan asing dari Negara lain) atau dapat pula dengan voluntary (planned) domestication yang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

  • Pengalihan bisnis secara bertahap atau dalam jangka panjang.
  • Pengembangan kader personalia domestic.
  • Intregrasi usaha lokal dengan jaringan pemasaran dunia.
  • Penggunaan pemasok lokal sebagai mitra usaha.

4. Menerapkan political neutrality

Sedapat mungkin perusahaan global jangan terlibat masalah-masalah politik, baik masalah antar kelompok lokal amaupun antar Negara.

5. Lisensi

Bila teknologi perusahaan bersifat unik, sulit ditiru dan risiko politk yang dihadapi tinggi, maka lisensi atas produk maupun teknologi merupakan strategi yang paling efektif untuk meminimisasi risiko.

6. Melakukan lobbying

Seperti halnya dengan interest group yang lain, setiap perusahaan memiliki kepentingan dan maksud-maksud tersendiri. Agar kepentingan dan maksud itu dapat tercapai, maka perusahaan global perlu melakukan lobbying secara halus (diam-diam) untuk menghindari terjadinya heboh politik, baik terhadap pemerintahnya sendiri maupun terhadap pemerintah host country.

7. Mengantisipasi risiko politik dengan cara:

  • Asuransi risiko politik.
  • Pengembangan rencana kontingensi (contingency plan).
  • Membentuk database mengenai kejadian-kejadian politik masa lalu di setiap Negara yang dimasuki perusahaan.
  • Menginterprestasikan data yang diperoleh dari jaringan intelijen untuk menyarankan dan memperingatkan secara dini para pengambil keputusan korporat mengenai situasi politik ekonomi.

8. Menghindari bidang usaha yang berkaitan dengan produk yang sensitif secara politik seperti:

  • Produk kritis dalam politik, misalnya minyak, gula, garam, makanan, fasilitas publik (public utilities), dan obat-obatan.
  • Produk industri dasar, misalanya semen, baja, mesin, kontruksi dan alat-alat pembangkit listrik.
  • Produk yang secara ekonomi dan sosial sangat esensial, seperti peralatan laboratorium dan obat-obatan.
  • Produk industri pertanian, seperti mesin dan peralatan pertanian, pupuk dan bibit.
  • Produk pertahanan nasional (misalnya senjata dan peralatan militer) dan media massa (seperti surat kabar, radio dan televisi).
  • Jasa murni.
  • Produk berbahaya, seperti bahan peledak dan obat terlarang.
  • Produk yang dilindungi, seperti budaya, hewan dan tumbuhan langka yang dilindungi pemerintah setempat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel