Variabel yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian
16 Agustus 2018
Setiap hari konsumen selalu berkecimpung dalam pengambilan keputusan pembelian. Oleh karena itu, kegiatan pemasaran diarahkan untuk mempengaruhi pembeli agar bersedia membeli barang dan jasa perusahaan (disamping barang lain) pada saat mereka membutuhkan. Hal ini sangat penting bagi pemasar untuk memahami jawaban-jawaban atas pernyataan itu:
1. Apa yang mereka beli ?
2. Di mana mereka beli ?
3. Bagaimana mereka membeli ?
4. Seberapa banyak mereka membeli ?
5. Kapan mereka membeli ?
6. Mengapa mereka membeli?
Diantara perntanyaan tersebut, pertanyaan keenam yaitu mengapa mereka membeli, merupakan pertanyaan yang paling sulit dijawab karena jawabannya tidak mudah dilihat dan berada di benak konsumen. Dengan pedoman pada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut perusahaan akan mudah untuk dapat mengembangkan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan produknya secara lebih baik. Dengan mempelajari perilaku pembeli, pemasar akan mengetahui peluan baru yang berasal dari kondisi yang belum terpenuhinya kebutuhan atas ; kemudian mengidentikasikannya untuk melakukan segmentasi pasar, dan apa yang dilakukan oleh perusahan masih lebih baik dari pesaingnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertanyaan sentral bagi pemasaran adalah : bagaimana konsumen menanggapi berbagai macam upaya pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Keputusan beli yang dilakukan konsumen dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berbeda-beda untuk masing-masing pembeli yang berbeda, disamping produk yang dibeli dan saat pembeliannya berbeda. Faktor-faktor tersebut dikelompokan kedalam 2 golongan, yaitu :
1. Kekuatan-kekuatan lingkungan yang mencakup (a) budaya, (b) sub budaya, (c) kelas sosial, (d) kelompok referensi, (e) keluarga, (f) faktor-faktor situasional, (g) nilai-nilai, norma, dan peranan sosial, (h) variabel-variabel bauran pemasaran, dan
2. Faktor-faktor individual yang mencakup : (a) persepsi, (b) motiv, (c) pengolahan informasi, (d) pembelanjaan, (e) sikap dan keyakinan, (f) kepribadian, (g) pengalaman, (h) konsep diri.
Selain dipengaruhi oleh semua faktor tersebut, keputusan beli yang diambil oleh pembeli itu mengalami suatu proses dalam jangka waktu tertentu. Sebuah model tentang perilaku konsumen ini dapat digambarkan seperti yang terlihat pada gambar 4.1, dimana kekuatan-kekuatan lingkungan mempengaruhi proses keputusan beli konsumen melalui faktor-faktor individual. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan lingkungan mempengaruhi faktor-faktor individual terlebih dahulu, baru kemudian faktor-faktor individual mempengaruhi proses keputusan beli yang dimulai dari pengenalan masalah sampai evaluasi pasca beli.
1. Budaya
Budaya ini sifatnya sangat luas, bahkan paling luas dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya, dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pembahasan tentang faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen dimulai dari budaya. (Kotter dan Heskett) yang mengutip dari American Haritage Dictionary mengemukakan budaya sebagai totalitas perilaku yang diteruskan secara sosial, seni, keyakinan, institusi, dan semua produk-produk lain dari pekerjaan manusia dan karakteristik pikiran dari suatu masyarakat atau populasi.
Sedangkan dalam konteks pemasaran, budaya didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan dari keyakinan, nilai-nilai dan tradisi yang terpelajari yang kesemuanya mengarahkan perilaku konsumen dari para anggota masyarakat tertentu (Schiffman and Kanuk, 1997). Jadi, pada prinsipnya budaya itu merupakan cara berperilaku konsumen di segmen pasar tertentu. Budaya berada dalam suatu masyarakat dengan batas-batas yang tidak ketat bagi perilaku individu dan budaya itu mempengaruhi fungsi-fungsi lembaga seperti struktur keluarga dan media massa.
Dalam definisi di muka terdapat komponen keyakinan (beliefs) yang mencakup sejumlah besar pernyataan mental atau verbal yang menggambarkan pengetahuan dan perkiraan seseorang tentang sesuatu, seperti produk, merek, penjual konsumen lain. Sedangkan nilai-nilai (values) pada prinsipnya hampir sama dengan keyakinan, perbedaannya terletak pada :
a. Nilai-nilai itu jumlahnya relative sedikit, tidak sebanyak keyakinan;
b. Nilai-nilai itu menjadi pemandu bagi perilaku yang sesuai secara cultural;
c. Nilai-nilai itu tidak muah berubah;
d. Nilai-nilai itu tidak terikat pada objek-objek yang spesifik;
e. Nilai-nilai itu dapat diterima secara luas oleh para anggota masyarakat.
Jadi, keyakinan dan nilai-nilai mempengaruhi cara-cara seseorang untuk memberikan tanggapan dalam situasi tertentu. Misalnya seorang konsumen yang sedang mempertimbangkan untuk membeli sepatu olahraga. Ia melakukan cara tertentu untuk menanggapi, yaitu mengevaluasi tiga merek: Adidas, Eagle, dan Reebock. Keyakinan (persepsi tertentu tentang kualitas merek Jerman, Indonesia, dan Inggris) dan lain-lain (persepsi yang menyatakan kualitas dan arti Negara asal merek itu) yang ada dalm dirinya akan mempengaruhi evaluasi yang kemudian membuahkan keputusan beli pada satu merek saja.
Dalam definisi budaya di muka juga terdapat istilah tradisi (custom), diartikan sebagai modus yang jelas tentang perilaku yang menunjuka cara-cara berperilaku yang dapat diterima atau disepakati secar cultural dalam situasi yang spesifik. Jadi, tradisi itu mencakup perilaku sehari-hari atau perilaku rutin. Makan nasi dan lauk, ketok pintu sebelum masuk misalnya, adalah contoh tradisi yang dilakukan konsumen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan cara berperilaku, sedangkan keyakinan dan nilai-nilai merupakan pemandu untuk berperilaku.
Bagi pemasar, faktor budaya ini sangat penting karena ia harus menyesuaikan bauaran pemasarannya dengan budaya yag dianut oleh pasar sasaran yang dilayaninya, yaitu berupa satu bangsa. Tentunya penyesuaian itu dilakukan dalam batas-batas tertentu. Konteks budaya ini menjadi sangat menonjol apabila perusahaan berupaya memasuki segmen pasar internasional atau segmen pasar global yang meliputi berbagai macam bangsa dengan budaya yang berbeda. Budaya yang bermacam-macam itu dapat dicerminkan dalam bentuk simbol, baik yang bersifat tidak kentara (seperti sikap, pendapat keyakinan, nilai, bahasa, agama) dan yang bersifat kentara (seperti: alat-alat, perumahan, produk, karya seni, dan sebagainya). Setiap orang dapat merasakan haus, tetapi apa yang harus diminum dan bagaimana caranya untuk memuaskan rasa haus tersebut, semua ini terdapat dalam budaya. Jadi, dalm kenyataan memang banyak perilaku konsumen yang ditentukan oleh budaya, dan pengaruhnya akan selalu berubah setiap waktu sesuai dengan kemajuan atau perkembangan zaman dari masyarakat tersebut.
2. Sub-Budaya: Budaya Dalam Budaya
Dalam setiap budaya terdapat sub-budaya yang didefinisikan suatu segmen dari suatu budaya yang lebih besar yang anggota-anggotanya memiliki pola perilaku tertentu (Hawkins, Best, and Coney, 1995, h. 96). Terjadi pola perilaku tertentu pada anggota-anggota kelompok sub-budaya itu disebabkan oleh perkembangan sosial secara historis dari kelompok tersebut, disamping juga situasi yang ada. Jadi, satu budaya itu dapat terjadi dari beberapa sub-budaya. Dalam masyarakat terdapat perbedaan-perbedaan kultural. Perbedaan kultural itulah yang dijadikan dasar dalam pengelompokan sub-budaya oleh pemasar, seperti bahasa, suku bangsa, kebangsaan, agama, dan lokasi geografis.
Di Indonesia terdapat banyak sub-budaya. Sub-budaya Islam yang didasarkan pada agama terlihat sangat menonjol di samping sub-budaya Jawa yang di dasarkan pada suku bangsa. Jika, dilihat dari segi bahasa, terdapat lebih dari 3 sub-budaya di Indonesia. Dengan kata lain, sub-budaya itu merupakan budaya dalam budaya. Sub-buday sub-budaya seperti itu tentu berbeda dari buday keseluruhan, yaitu budaya Indonesia, dalam hal nilai-nilai, norma, dan keyakinan. Secara umum, sub-budaya merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pemasaran untuk produk-produk seperti makanan, pakaian, perabot, dan lain untuk rumah. Dengan semakin penting sub-budaya pemasaran di masa-masa mendatang maka akan semakin banyak perusahaan yang perlu merancang strategi produk, saluran distribusi, dan promosi agar dapat memenuhi kebutuhan khusus pasarnya.
3. Kelas Sosial
Faktor sosio-budaya lain yang dapat mempengaruhi pandangan dari perilaku pembeli adalah kelas sosial. Dalam setiap budaya terdapat kelas sosial. Kelas sosial dapat didefinisikan sebagai kelompok orang-orang dengan tingkatan prestos, kekuasaan, dan kemakmuran yang sam dan juga memiliki sejumlah keyakinan, sikap, dan nilai-nilai yang terkait dalm car berfikir dan berperilaku (Zaltam and Wallendorf, 1983, h. 114). Jadi, kelas sosial yang berbeda memiliki cara berpikir dan berperilaku yang berbeda. Untuk menggolongkan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial, pemasar dapat menggunakan berapa indicator sebagai dasar penggolongan (Assael, 1995; Hawkins, Best and Coney, 1995), seperti:
a. Pekerjaan (dari pekerja tidak terampil sampai professional);
b. Sumber penghasilan (dari tunjangan pemerintah sampai warisan);
c. Tipe rumah (dari sangat jelek sampai mewah);
d. Daerah pemukiman (dari kumuh sampai elit)
e. Tingkatan pendidikan (dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi).
Penggunaan satu indikator saja, seperti pengahasilan, dianggap kurang akurat karena terpengaruh oleh perbuhan niali uang. Kombinasi dari beberapa faktor dimuka lebih di utamakan karena dapat menciptakan golongan kelas sosial yang lebih akurat. Secara umum, masyarakat kita ini dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan kelas sosial, yaitu:
a. Kelas atas
Yang termasuk dalam kelas ini antar lain: pengusaha-pengusaha kaya, pemodal besar, eksekutif perusahaan besar, eksekutif perusahaan besar, pejabat-pejabat tinggi sipil, dan militer.
b. Kelas menengah atas
Yang termasuk dalam kelas ini antara lain: manajer atas, professional, pengusaha menengah.
c. Kelas menengah
Yang termasuk dalam kelas ini antara lain: manajer bawah, pengusaha perorangan, semi professional, karyawan klerikal.
d. Kelas pekerja
Yang termasuk kelas ini antara lain: karyawan terampil, karywan tidak terampil, karyawan took.
e. Kelas bawah
Yang termasuk kelas ini antar lain: pegawai rendah, tukang becak, dan pedagang kecil, pengangguran.
Pembagian masyrakat ke dalam lima golongan tersebut bersifat relatif karena tidak didasarkan pada penelitian yang memungkinkan untuk dikuantitatifkan secara pasti. Dalam kenyataannya, masing-maisng kelas mempunyai tingkat kebahagian sendiri yang saling berbeda. Oleh karena itu, pemasar tidak dapat selalu menganggap bahwa kelas atas lebih bahagia atau lebih superior daripada kelas bawahnya. Adanya golongan-golongan kelas seperti itu akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Di antar kelas-kelas tersebut, menurut penggolongan di muka, juga terdapat perbedaan-perbedaan secara psikologis. Ini kelihatan jelas sekali pada saat mereka memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap iklan perusahaan dan terhadap jenis media cetak. Keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat mempengaruhi perilakunya dalm pembelian. Pada umumnya seseorang dari golongan rendah akan menggunakan sejumlah uangnya secara lebih cermat dibandingkan orang lain dari golongan atas yang menggunakan uangnya dengan jumlah sama besar. Dalam memilih penjual misalnya, golongan atas lebih cenderung memasuki dan berbelanja di took yang paling baik.
Kelas sosial sering dapat diasosiasikan dengan system nilai yang spesifik (misalnya, penempatan nilai yang tinggi pada pendidikan), yang cenderung pola gaya hidup yang spesifik (masuk ke perguruan tinggi), yang mengarah ke pola konsumsi yang spesifik (membeli buku teks). Dalam hal ini, kelas sosial sangat bermanfaat sebagai satu basis segmentasi untuk beberapa jenis produk. Sebagai contoh, produsen keramik hias, peralatan golf, dan buku ensiklopedia menganggap pasarnya sebagai kelas atas. Pasar-pasar untuk perjalanan udar, real estate, dan investasi keuangan juga merupakan kelas atas. Sedangkan barang dan jasa seperti peralatan makan dari plastic dan angkutan denganbis kota biasanya ditunjukan ke kelas bawah. Demikian pula tanggapan pasar terhadap media periklanan juga berbeda. Majalah Asri misalnya, psti tidak diperuntukan bagi segmen kelas bawah.
4. Kelompok Referensi
Kelompok referensi dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembeliannya, dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam berperilaku. Oleh karena itu, konsumen selalu memonitor kelompok tersebut baik perilaku fisik maupun mentalnya. Yang dimaksud dengan kelompok referensi adalah sebuah kelompok yang dijadikan acuan oleh konsumen dalam pembentukan nilai-nilai dan perilaku mereka (Wilkie, 1994). Kelompok referensi dapat bersifat formal, informal, atau besar, kecil. Ada tiga macam kelompok referensi yang masing-maisng dapat memberikan pengaruh yang berbeda.
a. Kelompok keanggotaan (membership group).
Kelompok keanggotaan adalah kelompok di mana seseorang saat ini sedang menjadi anggotanya. Sebagai contoh seorang ibu yang menjadi anggota PKK di kampungnya. PKK merupakan kelompok keanggotaaan bagi ibu itu. Ibu tersebut kemudian dapat membeli pakaian seperti yang dibeli oleh anggota lainnya. Seorang dosen pemasaran dapat menjadi anggota Forum Pemasaran Indonesia, membuatnya menjadi kelompok keanggotaanya.
b. Kelompok aspirasi (aspiration group).
Ini merupakan kelompok dimana seseorang beraspirasi menjadi miik kelompok tersebut. Misalnya, American Express yang menawarkan tiga tingkatan kartu kredit (green, gold, platinum), mengiklankan membership has its priveleges dan menawarkan pelayanan yang berbeda pada para pemegang kartu yang berbeda. Sehingga pemegang kartu gold dapat mewakili kelompok aspirasi bagi pemegang kartu green. Demikian pula, pemegang kartu platinum dapat mewakili kelompok untuk pemegang kartu gold.
c. Kelompok disasosiatif (disassociative group).
Kelompok ini merupakan kelompok dengan nama indivu-individu ingin menghindar dari identitas kelompok tersebut. Jadi, perilaku mereka cenderung untuk menciptakan jarak antara kelompok tersebut dengan diri mereka. Mereka ingin tampil berbeda dari anggota kelompok tersebut. Misalnya, kelompok DPRD Tingkat II dapat menjadi kelompok disasosiatif bagi salah seorang anggota DPRD Tingkat II yang tidak ingin mengenakan pakaian model safari (model safari sudah menjadi pakaian yang lazim dikenakan oleh anggota DPRD).
Pentingnya kelompok referensi dalam perilaku konsumen bergantung pada kategori produknya. Secara umum, semakin menyolok mata sebuah produk itu maka akan semkain penting pengaruh kelompok. Pengaruh kelompok referensi mungkin terbatas dalam hal keputusan pembelian. Menyangkut merek seperti tisu muka. Merek dan model sepeda motor yang dikendarai seseorang mungkin sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi. Pemasar berupaya memanfaatkan pengaruh kelompok referensi dalam penjualan produk mereka. Produsen sepatu atletik, misalnya, dapat mengiklankan bahwa sepatunya adalah yang “semua anak di sekolah” kan memakainya.
Jika ditinjau lebih jauh lagi, bias any masing-masing kelompok mempunyai pelopor opini (opinion leader), yaitu anggota kelompok yang dapat membangkitkan pengaruh pribadi pada keputusan beli konsumen lain Karena pengetahuan atau keahlian mereka dalam kategori produk tertentu. Interaksi mereka sering dilakukan secara individual, misalnya bertemu muka sehingga seseorang mudah terpengaruh oleh orang lain untuk mebeli sesuatu. Kadang-kadang, nasihat orang lain tersebut lebih berpengaruh dari pada iklan majalah, surat kabar, televise, atau media yang lain. Selain itu, nrma kelompok dapat ikut pula mempengaruhi masing-masing anggota kelompok.
Dalam hal ini, pemasar perlu mengetahui siapa yang menjadi pelopor opini dalam suatu kelompok, sebab pelopor opini ini dapat mempengaruhi para anggota kelompok bersangkutan. Seorang pelopor opini dari suatu kelompok dapat menjadi pengikut opini (opinion follower) dalam kelompok yang lain.
5. Keluarga
Dalam keluarga, masing-masing anggota dapat berbuat hal yang berbeda untuk membeli sesuatu. Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda. Anak-anak misalnya, tidak selalu menerima apa saja dari orang tua mereka, tapi menginginkan juga sesuatu yang lain. Apalagi anak-anak yang sudah besar, keinginan mereka semakin banyak. Namun demikian terdapat kebutuhan keluarga yang digunakan oleh seluruh anggota, seperti mebel, televise, almari es, dan sebagainya.
Keluarga seseorang merupakan salah satu jenis kelompok referensi. Seperti kelompok referensi lainnya, keluarga bertindak sebagai acuan dalam pembentukan keyakinan, sikap, nilai, dan perilaku. Pengaruh keluarga sangat penting, salah satunya adalah dalam hal sosialisasi konsumen. Sosialisasi konsumen merupakan proses dengan nama para pemuda mencari keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang membantu mereka berfungsi sebagai konsumen. Orang tua misalnya, mempunyai pengaruh yang penting dalam proses sosialisasi konsumen anak. Anak-anak yang menginginkan sepatu dan pakaian memerlukan orang tua sebagai sumber informasi utama. Oleh karena itu, pemasar perlu mengetahui bahwa dalam keluarga itu:
a. Siapa yang mempunyai ide untuk membeli suatu produk?,
b. Siapa yang mempengaruhi kepeutusan untuk membeli?,
c. Siapa yang mengambil keputusan untuk membeli?,
d. Siapa yang melakukan pembelian?,
e. Siapa yang memakai produknya?
Kelima hal tersebut dapat dilakukan oleh orang yang berbeda, atau dapat pula dilakukan oleh satu atau beberapa orang yang sama. Suatu saat seorang anggota keluarga dapat berfungsi sebagai pengambil keputusan, tetapi pada saat yang berlainan ia dapat bertindak sebagai pelaku pembelian. Sering dijumpai bahwa keputusan untuk membeli dibuat bersama-sama antara suami dan istri, kadang-kadang anak juga termasuk, terutama untuk membeli kebutuhan seluruh keluarga.
Mengenai siapa yang melakukan pembelian, akan mempengaruhi kebijakan pemasaran perusahaan dalam hal produk yang ditawarkannya, saluran distribusinya, harganya, dan promosinya. Di muka telah disebutkan bahwa setiap anggota keluarga mempunyai pengaruh yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bergantung pada karakteristik produk dan keluarga. Perilaku pembelian dari sebuah keluarga juga berubah-ubah sesuai dengan perkembangan tahap di dalam daur hidup keluarga (lihat gambar 4.2). dalam gambar tersebut terlihat bahwa disamping karakteristik umumnya berbeda, jenis produk yang banyak dibeli pada masing-masing tahap juga berbeda-beda.
Tabel Tahap-tahap dalam daur hidup keluarga
Tahap-tahap | Karakteristik umum | Peluang bagi pemasar |
---|---|---|
Tahap bujangan; muda, sendirian tidak tinggal serumah. | Pengahasilan kecil, pelopor mode, berorientasi pada rekreasi, tahap awal kerja. | Pakaian, hobi, perabot pokok, mobil, peralatan untuk kawin, tamasya. |
Pengantin baru; muda, dan belum mempunyai anak. | Segi keuangan lebih baik, relative independen, tingkat pembelian tertinggi dan pembelian rata-rata tertinggi untuk barang tahan lam, berorientasi ke depan dan sekarang. | Mobil, almari es, kompor, mebel yang pantas dan awet, tamasya/rekreasi, pakaian. |
Sarang penuh I: suami-istri masih muda dengan anak dibawah 6 tahun. | Kemandirian terbatas, kekayaan yang likuid sangat sedikit, tidak puas dengan kedaan keuangan dan jumlah uang yang ditabung, tertarik pada produk baru, menyukai produk yang di iklankan, berorientasi ke depan. | Alat pencuci, televise, makanan bayi, obat-obatan, vitamin, boneka, mainan anak-anak. |
Sarang penuh II: suami-istri masih muda dengan anak berumur 6 tahun atau lebih. | Keadaan keuangan lebih baik, sebagian istri bekerja, kurang terpengaruh pada periklanan, pembelian lebih besar, karier lebih mantap, berorientasi ke depan. | Tabungan, perumahan, pendidikan, makanan, sepeda rekreasi, bahan pembersih, pelajaran, musik. |
Sarang penuh III: suami-istri dengan anak bungsu yang sudah besar tinggal serumah | Tingkat keuangan tertinggi, sebagian istri bekerja, beberapa anak memperoleh pekerjaan, sulit untuk mempengaruhi dengan periklanan, pembelian rata- | Penggantian barang tahan lama dan lebih nyaman, pendidikan, berpergian dengan mobil, perawatan gigi. |
6. Faktor-faktor situasional
Faktor situasional, disebut juga situasi sosial, jga mempengaruhi proses pengambilan keputusan oleh konsumen. Salah saru contoh situasi sosial adalah dalam pembelian bensin oleh konsumen. Sisa bensin dalam tangki kendaraannya sudah tinggal sedikit dan ia baru saja ingat hal itu. Tekanan situasional membuat semakin pentingnya mencari lokasi penjual benin yang terdekat sebagai criteria pilihannya dan mengabaikan atribut lain. Macam faktor situasional ini sangat banyak dan sulit untuk disebutkan satu per-satu karena bergantung pada kejadian yang sedang dialami konsumen. Jika kejadiannya berbeda maka situasinya juga akan berbeda. Akan tetapi, kiranya perlu diperhatikan oleh pemasar bahwa satu produk mungkin dibeli dalam satu situasi sosial dan produk lainnya dibeli dalam situasi sosial yang lain.
7. Nilai, Norma, dan Peran Sosial
Setiap orang pasti mempunyai nilai sosial, mematuhi norma-norma tertentu dan mengisi peran tertentu. Ketiga faktor tersebut berasal dari sumber yang berbeda, dari budaya keseluruhan sampai ke kelompok sosial yang jauh lebih kecil. Nilai sosial dapat di definisikan sebagai tujuan-tujuan yang dipandang penting oleh suatu masyarakat dan menggambarkan ide-ide bersama dalam suatu budaya tentang cara-cara bertindak yang diinginkan (Zikmund and D’Amico, 1996). sedangkan norma adalah aturan-aturan yang menunjukan apa yang benar dan apa yang salah, yang dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh orang lain dalam masyarakat (Solomon and Stuart, 1997). Perilaku dalam satu situasi mungkin tidak sesuai untuk situasi yang lain: artinya norma itu akan berkait erat dengan situasinya. Misalnya, orang selalu menghindari sentuhan dengan sesama pejalan kaki, sebaliknya, dalam keramaian menonton karnaval, sentuhan sesama penonton tidak akan menjadi masalahnya. Jadi, norma bisa berubah dengan situasinya.
Seperti halnya nilai-nilai sosial, norma juga sangat mempengaruhi pola perilaku konsumen. Sebagai contoh, norma tidak merokok di tempat-tempat umum yang semakin meningkat akan mempengaruhi perencanaan perusahaan jasa seperti bandara, restoran, dan pusat-pusat perbelanjaan. Konsumen perokok menjadi tidak nyaman berada di tempat-tempat seperti itu.
Setiap bangsa sosial, dari kelompok terkecil samapi organisasi besar, menciptakan dan mengidentifikasikan peran bagi para anggotanya. Peran merupakan pola perilaku spesifik yang diharapkan oleh seorang dalam situasi posisi (Mowen, 1995). Peran setiap orang bisa berbeda-beda meskipun bisa juga berada dalam satu pola perilaku yang sama. Peran akan terbawa dalam situasi pembelian di mana konsumen mempunyai peran dan penjual juga mempunyai peran. Pembeli berharap mendapatkan hak tertentu dan mengahrapkan penjual melakukan kewajiban tertentu. Misalnya, penjual disebuah toko mewah akan berperilaku berbeda dengan pelayanan toko pengecer kecil yang tidak mewah.
8. Variabel Bauran Pemasaran
Variabel-variabel bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi juga memberikan pengaruh pada keputusan pembelian konsumen. Di anatara faktor-faktor yang ada, variable bauran pemasaran ini sangat penting dan mudah di atur oleh pemasar karena sepenuhnya dirancang oleh pemasar. Secara detail masing-masing variable pemasaran ini sudah di bahas dimuka sehingga tidak perlu lagi diuraikan di sini.
9. Persepsi
Persepi di definisikan sebagai suatu proses pemilihan, pengorganisasian, dan penginterprestasian masukan informasi untuk menciptakan arti (Pride and Ferrel, 1997). Sedangkan masukan informasi merupakan sensasi yang diterima melalui pandangan, cita rasa, pendengaran, penciuman, dan sentuhan. Jadi, persepsi itu pada prinsip nya adalah bagaimana kita mempunyai masalah konsumsi? Sebagai contoh masukan informasi adalah iklan di papan yang kita lihat, propaganda yang kita dengarkan melalui pengeras, keharuman ruangan yang kita cium, dan produk yang kita sentuh.
Sesorang akan mempunyai suatu persepsi terhadap sebuah produk apabila ia mengetahui bahwa produk tersebut ditawarkan. Sumber informasinya dapat berasal dari penjual, teman, iklan, dan sebagainya. Dalam kenyataan, perbedaan persepsi tersebut akan menciptakan perilaku beli yang berbeda pula. Misalnya, sesorang yang membeli mobil Peugeot (buatan Perancis) mempunyai persepsi bahwa mobil-mobil buatan Jepang mempunyai model bagus. Namun sesbelum persepsi tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap tertentu, sering harus diolah melalui suatu proses yang disebut proses pembelajaran.
Bagi konsumen yang rasional, presepsi tentang suatu produk selalu dikatain dengan nilai yang ditawarkan oleh produk itu kemudian dibandingkan dengan ongkosnya. Nilai yang ditawarkan oleh perusahaan kepada konsumen itu meliputi: 1) nilai produk, 2) nilai pelayanan, 3)nilai personel, 4) nilai citra. Sedangkan ongkosnya mencakup: 1) harga monoter, 2) ongkos waktu, 3) ongkos psikis, 4) ongkos energy. Jika nilai total dikurangi ongkos total mengahasilkan nilai negatif maka konsumen menganggap bahwa produk itu mahal, meskipun jumlah uang yang secara riil dibayarkan untuk membeli produk itu tidak terlalu besar (lihat Kotler, 1997).
10. Pembelajaran
Proses pembelajaran (learning process) ini terjadi apabila pembeli ingin menanggapi dan perolehan suatu kepuasan, atau sebaliknya, terjadi apabila pembeli merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik. Persepsi konsumen tentang suatu barang anda, jasa dan motivasi mereka untuk membeli atau tidak merupakan fungsi pembelajaran. Jadi, pembelajaran merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perilakyu seseorang yang diakibatkan oleh pengalamannya (Kinnear, Bernhardt, and Krentler, 1995. h. 192). Sebagai contoh seorang konsumen terdorong oleh keinginan untuk menikmati minuman ringan dindin (dalam botol) pada hari-hari panas. Tanggapannya dapat berupa percobaan terhadap beberapa merek sampai ia mendapatkan suatu produk yang dapat memenuhi keinginannya. Sesudah itu, ia akan cenderung untuk memberikan tanggapan pada kesempatan yang akan datang. Jadi, konsumen telah mempelajari sesuatu. Teori yang mempelajari perilaku beli melalui proses belajar ini disebut teori pembelajaran (learning theory).
Adapun contoh-contoh penggunaan teori dalm program pemasaran ini mencakup teknik-teknik seperti:
a. Pemberian contoh barang secara Cuma-Cuma;
b. Penjualan barang dengan hadiah. Kalau pembeli dapat mengumpulkan beberapa buah kemasan atau tutup botol minuman akan memperoleh satu hadiah.
Setelah konsumen mempelajari sesuatu dan memberikan tanggapannya maka sebagai kelanjutannya konsumen akan menunjukan suatu sikap tertentu terhadap produk atau merek itu.
11. Sikap dan Keyakinan
Sikap dan keyakinan merupakan faktor yang ikut mempengaruhi persepsi dan perilaku beli konsumen. Sikap itu sendiri mempengaruhi keyakinan juga mempengaruhi sikap. Masalah sikap ini akan dibahas tersendiri sebagai variable yang muncul sesudah adanya proses pembelajaran.
Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa kita telah mempunyai suatu sikap positif atau negatif terhadap produk atau merek tertentu. Sikap itu terbentuk atas dasar persepsi kita terhadap suatu produk dan proses pembelajaran baik dari pengalaman atau dari yang lain. Sikap dapat didefinisikan sebagai kecenderungan yang terpelajari untuk menanggapi sebuah objek atau golongan objek dalam cara yang baik atau kurang baik secara konsisten (Allport, 1953). Sedangkan keyakinan didefinisikan sebagai pernyataan yang menunjukan probabilitas subjektif sesorang bahwa sebuah objek itu mempunyai karakteristik tertentu (Fishbein and Ajzen, 1975). Konsumen dapat berkeyakinan bahwa camcorder merek sony merupakan video rumah terbaik denag harga wajar. Keyakinan ini dapat didasarkan pada pengetahuan. Konsumen cenderung mengembangkan sejumlah keyakinan tentang atribut sebuah produk, kemudian, melalui keyakinan ini, membentuk citra merek (brand image), yaitu sejumlah keyakinan tentang merek tertentu.
Sikap cenderung lebih tahan lama dan lebih kompleks dibanding keyakinan, karena sikap itu mencakup sekumpulan keyakinan yang saling berkaitan. Jika sikap konsumen positif, pemasar perlu memperkuatnya, terutama produk yang bisa menghasilkan keuntungan. Sebaliknya, jika konsumen negative maka pemasar harus merubahnya menjadi positif, yaitu dengan cara:
a. Merubah keyakinan tentang atribut merek;
b. Merubah kepentingan relative dari kekayaan itu;
c. Menambah keyakinan baru.
Berdasarkan hasil berbagai penelitian, dapat dikatakan bahwa sikap itu merupakan faktor yang tepat untuk meramalkan perilaku yang akan datang. Jadi, mempelajari sikap, seseorang diharapkan dapat menentukan apa yang akan dilakukan. Dan saat ini para pakar, seperti Fishbein dan Ajzen (1980) sudah menemukan korelasi yang kuat antara sikap dan perilaku.
Penentuan Indeks Sikap
Sikap konsumen hanya dapat diketahui dengan cara menanyai konsumen, baik secara tertulis maupun lisan melalui survei, dengang menggunakan daftar pertanyaan. Dalam bentuknya yang paling sederhana, sikap konsumen itu diindikasikan berupa indekss sikap. Tentunya, pengukuran sikap konsumen yang lebih canggih, yang ditemukan dalam bidang psikologi sosial, lebih banyak dimanfaatkan karena dapat mencerminkan sikap yang lebih akurat (Dharmesta, 1992). Indekss sikap dapat ditentukan dengan mengkombinasikan suatu bobot dengan sejumlah komponen. Indekss tersebut dimasukkan untuk meramalkan sikap individu serta kesukaan terhadap suatu merek. Sebagai contoh tabel dibawah menunjukan nilai untuk 3 atribut yang dianggap penting dalam pembelian mobil.
Bobot yang terdapat pada table tersebut menunjukan nilai relative dari ketiga atribut. Dalam hal ini, pembeli menganggap bahwa bobot tertinggi (0,45) berada pada atribut “servis total yang baik” dan seterusnya. Pada table tersebut juga terdapat sejumlah nilai dari masing-masing atribut yang dikenakan untuk 3 macam merek (Timor, Baleno, dan Cakra). Nilai itu diperoleh dari urutan 1 (berarti sangat jelek) sampai 5 (berarti sangat baik) yang diberikan atau dinyatakan oleh pembeli. Merek-merek mobil yang dibangdingkan dianggap kurang-lebih setara berdasarkan besarnya kapasitas mesin yang umum di pakai sebagai dasar.
Table 4.1
Jadi, indekss sikap tersebut dapat diperoleh untuk untuk masing-masing merek, yaitu:
a. Timor = (0,45) (1) + (0,35) (2) + (0,20) (5) = 2,15
b. Beleno = (0,45) (4) + (0,35) (5) + (0,20) (4) = 4,35
c. Cakra = (0,45) (2) + (0,35) (3) + (0,20) (3) = 2,55
Semakin besar indeks sikapnya berarti semakin ideal merek tersebut bagi konsumen. Dalam kasus ini, pembeli mempunyai sikap sangat positif terhadap Baleno dengan nilai indeks sikap tertinggi, yaitu 4,35. Sekarang tinggal mencari kepastian apakah konsumen setuju dengan urutan konklusif yang didasarkan pada indeks sikap di muka. Dalam hal ini perlu dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Membuat penting tidaknya atribut yang berbeda bagi segmen pasar;
b. Menentukan karakteristik merek
c. Mengadakan periklanan untuk memperlihatkan kepada para pembeli bahwa produk itu memiliki atribut-atribut tersebut.
Untuk maksud tersebut daptlah digunakan sebuah rumus tersebut.
Di mana:
Sj = indekss sikap terhadap merek j
Pjk = keyakinan bahwa merek j memiliki atribut k
Ek = evaluasi tentang keinginan menyangkut atribut k
N = jumlah atribut
Data tentang keyakinan dan evaluasi biasanya diukur dengan memakai skala dua kutub, yaitu -2, -1, 0, 1, 2 dan bukannya skala non-negatif (1 sampai 5). Pembeli diminta apakah mereka yakin bahwa sebuah merek itu baik atau tidak dengan urutan seperti berikut.
a. +2 menunjukkan sangat baik
b. -2 menunjukan sangat jelek
Jika konsumen yakin bahwa sebuah merek tidak pantas memiliki suatu atribut, berarti hasilnya akan sangat jelek. Pengukuran sikap seperti itu dianggap lebih akurat karena sudah memuaskan variabel keyakinan dan evaluasi.
12. Motivasi
Dengan mempelajari motivasi, pemasar dapat menganalisis faktor-faktor utama yang mempengaruhi konsumen untuk membeli atau tidak membeli. Motivasi dapat didefinisikan aktivitas kea rah tujuan (innear, Bernhardt, and Krentler, 1995, h. 187). Ketika seseorang membeli sebuah produk, biasanya ia maksudkan untuk memenuhi salah satu macam kebutuhan. Kebutuhan akan menjadi motif apabila kemunculannya memadai. Misalnya, anggaplah seorang mahasiswa sedang lapar pagi ini sebelum kuliah dimulai. Tentunya ia membutuhkan makanan. Untuk menanggapi kebutuhan tersebut, ia masuk sebentar ke warung bu Rita untuk membeli soto ayam. Dengan kata lain, ia termotivasi oleh rasa lapar untuk masuk ke warung tersebut.
Motif didefinisikan sebagai dorongan umum yang membatasi kebutuhan konsumen dan mengarahkan perilaku mereka kea rah pemenuhan kebutuhan tersebut (Asseal. 1995). Dengan kata lain, motif merupakan kekuatan yang mendorong yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik. Motif-motif yang umum mencakup faktor-faktor seperti pemilikan, ekonomi, keingintahuan, dominasi, status, kesenangan, dan peniruan. Pada umumnya konsumen menggunakan criteria manfaat yang spesifik dalam mengevaluasi merek. Criteria-kriteria tersebut dipengaruhi secara langsung oleh motif. Sebagai contoh, jika seorang dalam pembelian rumah termotivasi oleh status maka ia menggunakan 2 kriteria manfaat yang dianggap penting, yaitu lingkungan elit serta gaya dan luas bangunan.
Mengapa orang terdorong oleh kebutuhan-kebutuhan tertentu pada saat-saat tertentu? Salah satu teori yang sangat popular adalah hierarki kebutuhan Maslow. Kebutuhan dapat diartikan sebagai kesenjangan antar kondisi yang diinginkan dengan kondisi yang senyatanya. Maslow mengumakakan adanya lima kebutuhan manusia yang pengurutannya didasarkan pada jejang pemenuhan secara asasi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:
a. Kebutuhan fisiologi yang merupakan kebutuhan paling mendasar. Contoh kebutuhan ini adalah kebutuhan yang akan makanan, minuman, tempat tinggal. Karena sangat pokok dan menyangkut kelangsungan hidup, kebutuhan tersebut harus dipenuhi paling awal. Pembelian nasi soto dan the manis untuk sarapan merupakan contoh pemenuhan kebutuhan fisiologis.
b. Kebutuhan kesehatan, mencakup keamanan dan kebebasan dari rasa sakit dan nyaman. Pemasar sering memanfaatkan rasa takut dan gelisah menyangkut keselamatan untuk menawarkan produknya. Misalnya iklan Volvo yang menggambarkan pengemudi tetap selamat dalam kecelakaan fatal karena mengendarai Volvo.
c. Kebutuhan sosial. Setelah kebutuhan fisiologis dan keselamatan terpenuhi. Kebutuhan sosial, khususnya kecintaan dan rasa pemilikan, menjadi perhatian. Kecintaan mencakup diterimanya seseorang oleh kelompoknya, di samping juga seks dan cinta romantic. Pemasar dapat memanfaatkan kebutuhan konsumen ini dengan mengiklankan produk-produk seperti pakaian, komestik, dan paket wisata dengan menekankan bahwa pembelian produk tersebut dapat membawa kencitaan.
d. Kebutuhan harga diri. Kebutuhan ini didasarkan pada konstribusi seseorang pada kelompok. Termasuk dalam kebutuhan ini adalah hormat-diri, prestos, pengakuan tentang prestasi seseorang. Produk-produk yang pembeliannya mencerminkan pemenuhan kebutuhan ini adalah: mobil BMW, ballpen Mont Blanc, dan tas Etiene Aigner.
e. Kebutuhan aktualisasi diri. Ini merupakan kebutuhan yang jenjangnya paling tinggi. Kebutuhan aktualisasi-diri menunjukan pemenuhan-diri dan ekspresi diri, mencapai suatu titik dalam hidup dimana apa yang dirasakan seseorang memang seharusnya demikian. Maslow memandang bahwa hany sedikit orang yang dapat mencapai kebutuhan ini. Pemasar yang memanfaatkan kebutuhan ini adalah American Express yang mengiklankan pesan-pesan kepada khalayak bahwa memiliki kartu kredit ini berarti mereka telah mencapai tingkat tertinggi dalam hidup.
13. Pengalaman
Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan seseorang dalam berperilaku. Pengalaman dapat diperoleh dari semua perbuatannya di masa lalu atau dapat pula dipelajari, sebab dengan belajar seseorang dapat memperoleh pengalaman. Penafsiran dan peramalan proses pembelajaran konsumen merupakan kunci untuk mengetahui perilaku belinya.
Satu hal pokok dalam teori pembelajaran bahwa konsumen dalm belajar dari pengalamannya menggunakan suatu produk. Pemasar mengaplikasikannya dengan cara memberikan sampel barang gratis. Dalam jenis promosi ini, konsumen didorong untuk mencoba produk, menikmati manfaatnya, serta mengevaluasinya tanpa harus membeli. Pengalaman ini disebut pengalaman langsung. Jika pengalaman dengan produk tersebut positif, konsumen akan terdorong untuk membeli produk yang sama dikemudian hari. Hal ini cocok untuk produk-produk yang penggunaan riilnya merupakan aspek pembelajaran yang efektif. Contoh barang-barang yang sering diberikan pada konsumen sebagai sampel adalah sampo, sikat gigi, baterai, korek api, dank rim campuran untuk kopi (creamer).
14. Kepribadian
Kepribadian dapat di definisikan sebagai cara menorganisasi dan mengelompokkan konsistensi-konsistensi tentang reaksi seseorang terhadap situasi (lamb. Hair, and McDaniel, 1996). Dapat pula dikatakan bahwa kepribadian itu merupakan pola sifat psikologis individu yang dapat mempengaruhi cara seseorang dalam menanggapi situasi-situasi dalam lingkungannya.
Pertanyaan penting bagi pemasar adalah “apakah orang dengan kepribadian tertentu akan membeli produk tertentu?”, sebagai contoh ada konsumen yang selalu ingin mencari pengalaman baru dan produk-produk yang berbeda, sementara konsumen lain senang dengan kondisi lingkungan yang sudah dikenalnya, menggunakan merek yang sama terus-menerus. Bagi pemasar, perbedaan seperti ini dapat menciptakan nilai potensial dengan mempertimbangkan perbedaan kepribadian untuk merumuskan strategi pemasaran.
Komputer, misalnya dapat melambangkan keramahan, rokok melambangkan kejantanan, dan perabot rumah melambangkan keakraban. Ini semua merupakan sifat-sifat manusia yang dituangkan pada produk yang dapat dimanfaatkan oleh pemasar. Kepribadian juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan segmen pasar.
Bagi perusahaan asuransi, segmen pasar yang menjadi sasarannya dapat berupa orang-orang dominan yang ingin memilki control atas situasi-situasi yang melibatkannya. Mereka cenderung percaya diri dan hanya akan mengikuti saran dari orang lain, orang lain itu memang ahli dan dapat memenuhi permintaan akan ketepatan dan keandalan. Jadi, perusahaan asuransi tidak lagi menerapkan konsep menakut-nakuti (pendekatan emosional), tetapi dengan pendekatan informasional. Konsumen seperti ini tidak perlu diyakinkan bahwa asuransi jiwa merupakan ide yang baik, tetapi mereka lebih suka mencari informasi tentang keamanan atau proteksi di masa mendatang.
Sebenenarnya, pengaruh sifat kepribadian konsumen terhadap persepsi dan perilaku pembelinya adalah sangat umum, dan upaya-upaya untuk menghubungkan norma kepribadian dengan berbagai macam tindakan pembelian konsumen umumnya tidak berhasil. Namun para pakar tetap percaya bahwa kepribadian itu juga mempengaruhi perilaku beli seseorang. Sifat-sifat kepribadian (personality trait) yang relevan dengan strategi pemasaran adalah:
a. Innovativeness, yaitu tingkatan dimana seseorang suka mencoba suatu yang baru;
b. Percaya diri, yaitu tingkatan di mana seseorang mempunyai evaluasi positif tentang kemampuannya, termasuk kemampuan mengambil keputusan produk yang baik.
c. Sociability, yaitu tingkatan dimana seseorang dapat menikmati interaksi sosial dan kemungkinan akan menanggapai produk dan situasi yang mengaitkan ke situasi sosial.
15. Konsep diri
Faktor lain yang ikut menentukan perilaku pembeli adalah konsep diri. Konsep diri merupakan persepsi, keyakinan, dan perasaan tentang dirinya sendiri (Bovee, Houston, and Thill, 1995). Dengan kata lain, konsep diri merupakan cara bagi konsumen untuk melihat dirinya sendiri, dan pada saat yang sama ia mempunyai gambaran tentang diri konsumen lain.
Beberapa psikolog membedakan konsep diri ini kedalam: (1) konsep diri yang sesungguhnya (real self), (2) konsep diri yang ideal (cara yang dicita-citakan untuk melihat dirinya sendiri, juga disebut ideal self).
Pemasar harus dapat mengindentifikasi tujuan konsumen karena dapat mempengaruhi perilaku mereka. Dalam situasi tertentu, pemasar dapat menentukan tujuan ini jika mengetahui tentang konsep diri konsumen. Biasanya, konsep diri konsumen hanya dinyatakan dengan suatu tujuan, dan tidak mengatakan mengapa konsep diri tersebut ada.
Setiap konsumen memiliki konsep diri yang berbeda-beda sehingga memungkinkan persepsi yang berbeda terhadap upaya-upaya pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Misalnya, seorang konsumen yang merasa dirinya sebagai pelopor mode tidak akan membeli pakaian yang tidak memproyeksikan citra konteporernya. Satu komponen penting dalam konsep diri adalah citra bodi (body image), yaitu persepsi tentang ketertarikan segi pisik diri seseorang. Konsumen yang sudah menjalani operasi plastic misalnya, merasa citra bodi dan konsep dirinya semakin sempurna.
16. Gaya Hidup
Kepribadian dan konsep diri tercermin dalam bentuk variabel baru yang disebut gaya hidup. Gaya hidup adalah modus hidup, seperti ditunjukan oleh aktivitas, minat, dan opini seseorang. Dengan kata lain, gaya hidup merupakan pola seseorang untuk mencapai tujuan hidup, artinya bagaimana seseorang menggunakan waktu dan uangnya. Gaya hidup seseorang dapat dikenali seperti gaya hidup suka kerja (workaholic) atau gaya hidup suka ke luar (out door), dan sebagainya.
Ukuran kuantitatif gaya hidup kenal dengan istilah psikografik. Ukuran-ukuran itu menggambarkan upaya untuk “berada dibenak konsumen” dan menemukan apa yang sesungguhnya dipikirkan orang tentang bagaiman mereka menjalani hidup. Jadi, dengan psikografik konsumen dapat dikelompokan ke dalam berbagai gaya hidup. Tidak seperti kepribadian yang lebih sulit diukur, karakteristik gaya hidup sangat bermanfaat dalam segmentasi pasar dan penentuan sasaran konsumen.
Ukuran kuantitatif gaya hidup kenal dengan istilah psikografik. Ukuran-ukuran itu menggambarkan upaya untuk “berada dibenak konsumen” dan menemukan apa yang sesungguhnya dipikirkan orang tentang bagaiman mereka menjalani hidup. Jadi, dengan psikografik konsumen dapat dikelompokan ke dalam berbagai gaya hidup. Tidak seperti kepribadian yang lebih sulit diukur, karakteristik gaya hidup sangat bermanfaat dalam segmentasi pasar dan penentuan sasaran konsumen.